:: agus m irkham
Judul Buku: Kitab Sakti
Remadja Oenggoel
Penulis: Riawani
Elyta dan Oci Yonita Marhan
Penerbit: Indivia
Cetakan I: Juni 2013
Jumlah hlm: 200 halaman
Harga: Rp28.000
ISBN: 979-602-8277-95-2
Ukuran buku: 20 cm
Dimana-mana perubahan sosial digerakkan oleh kelas menengah. Kelas
menengah dapat dicandrai melalui tiga ukuran. Pertama, kemapanan tingkat
ekonomi. Kedua, pendidikan terakhir yang ditamatkan relatif tinggi. Ketiga,
memiliki peran sosial yang luas dan berarti. Sesuai dengan sunatullah, aktor
perubahan sosial ini akan terus mengalami penggantian. Sesuai dengan
berjalannya jelujur waktu kehidupan ini. Dan pemasok pelaku perubahan itu
adalah generasi muda. Termasuk bagian dari generasi muda ini adalah para
remaja. Artinya, proses menggarap diri untuk menjadi kelas menengah agar mampu
memberikan kontribusi yang berarti bagi lingkungan itu seyogianya sudah dimulai
dari kehidupan remaja. Sehingga ketika mereka bertumbuh menjadi kelas menengah,
tidak sekadar menambah dari segi kuantitas atau jumlah saja, tapi lebih penting
dari itu adalah kualitas.
Maka sejak dini, mereka harus disadarkan untuk tidak lagi berfikir
bahwa mereka adalah objek perubahan,
sebaliknya subjek perubahan. Tidak menyerahkan begitu saja nasib diri, lingkungan
sosial, dan bangsanya kepada segolongan elit orangtua. Meminjam ungkapan Eep
Saefullah Fattah dalan buku Provokasi Awal Abad (2000)—dengan sedikit
revisi—para remaja harus berani merumuskan manifesto-nya sendiri saat berhadapan
dengan siapapun. Termasuk ketika harus berhadapan dengan (calon) pemilik kuasa
politik dan anggaran kaitannya dengan posisi para remaja sebagai pemilih
pemula.
Petitih ini bukan sesuatu yang bersifat di atas langit sana. Karena
secara faktual peran anak-anak muda
memang penting sekali dalam proses perubahan politik melalui gerakan civil
society. Mengutip nubuat Jane
Foster, Kumi Naidoo, dan Marcus Akuhata-Brown via Eep Saefullah Fatah (ibid)
dalam buku Youth Empowerment and Civil Society (1999): “Civil society
probably needs young people much more than young people need civil society.”
Jalinan deskripsi yang saya dedahkan di atas kaitannya dengan buku yang
tengah saya bedah ini adalah: dalam ruang pribadi pembacaan saya, buku ini
dapat saya golongan sebagai bentuk manifesto itu. Bagaimana remaja memandang diri
dan lingkungannya. Relasi diri dengan masyarakatnya. Serta hubungan antara ia
dengan Tuhannya. Karena hakikat tiap kita adalah makhluk diri, sosial, dan
Tuhan.
Pertanyaan pentingnya, manifesto seperti apa yang terdeklarasikan di
buku setebal 200 halaman ini?
Dalam pandangan penulisnya, manifesto itu harus dimulai terlebih dahulu
dengan sesuatu yang mendasar. Yakni kesadaran tujuan manusia hidup di dunia. Di
lembar ke-33 secara bernas ditulis: Manusia hidup harus punya tujuan, dan
tujuan itu harus diniatin dalam rangka menunaikan segala perintah-Nya.
Karena hanya dengan niat yang benar, juga dibarengi dengan praktiknya, maka hidupmu
insya Allah akan selamat. Nggak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Dengan piranti teknis apa, tujuan mulia di atas hendak dicapai? Karena
tetap saja meskipun tujuan hidup adalah untuk memenuhi kepentingan “langit”,
manusia hidup di bumi yang terikat dengan sunatullah: ikhtiar. Artinya manusi
tetap membutuhkan kausalitas natural untuk menyelenggarakan kehidupannya.
Menegakkan wadag, menunaikan peran diri, dan melakukan perbaikan di lingkungan
sekitar.
Ada tiga sarana teknis ditawarkan yakni pertama, mengenal diri melalui
jawaban atas pertanyaan yang diformulasikan sebagai 5W+1H. Mengapa
kamu ada (Why); Apa sih tujuan kamu hidup (What); Siapa sih diri
kamu saat ini (Who); Sampai kapan kamu hidup (When); Di mana kamu
sekarang berada (Where); Bagaimana kamu tercipta/ada (How). (hlm 21-49). Kedua, memetakan peta langkah dengan merujuk
potensi dan cita-cita (misi) yang ada pada diri kita masing-masing dengan
pendekatan SWOT (strenght, weakness, opportunities, thread), dan SMART (spesific,
meansurable, achievable, reasonable, time
limited (hlm 78-83). Ketiga membuat proposal hidup berupa pengisian
kolom-kolom pencapaian spiritual, intelektual, dan fisikal serta menggambarkannya
dalam bentuk peta pemikiran atau mind maping (hlm 146-157). Titik
terjauh yang hendak diraih dari tiga sarana teknis di atas–kalau boleh saya
sederhanakan–adalah: muda, kaya, mati masuk surga
Jadi sebenarnya buku ini diturunkan dari konsep-konsep besar dan
filosofis. Tapi oleh penulisnya dihadirkan ke khalayak pembaca dengan kemasan
yang menarik. Sesuai dengan modalitas bahasa dan pergaulan anak remaja
sekarang. Nampak betul buku ini sengaja ditulis dengan menggunakan gaya bahasa
yang mengalir, renyah, cenderung mengobrol, guyon dan dikemas dalam tampilan
yang menarik nan menggerakkan, sehinga menimbulkan efek seruan: Ahaa! di tiap
lembar yang kita baca.
Penuturannya pun tidak terkesan menggurui karena ditulis betul-betul dalam
bahasa mengobrol, layaknya memindah bahasa lisan ke tulisan, yang pada beberapa
hal saya temukan kesannya jadi sangat centil. Tiap pembahasan adalah gabungan
antara kisah hikmah, referensi teori atau pendapat ahli, serta rujukan alquran
dan hadits. Dan semuanya diramu dengan ikatan yang padu sehingga tidak ada
kesan para pembaca sedang diceramahi.
Menekuni buku ini, para pembaca (remaja) tidak saja menjadi cakap dalam
merencanakan hidupnya tapi juga timbul rasa cinta terhadap kehidupan dalam
konteks yang luas yaitu semesta.
Sisi menarik lainnya dari gaya penyajian buku ini adalah di tiap awal
bab ada kuis berisi beberapa pertanyaan yang harus dijawab pembaca. Kuis
menjadi semacam pre test sebelum pembaca mendaras lebih jauh isi di tiap
bab. Tidak hanya itu. Ada pula simpulan di tiap pembahasan diwujudkan dalam
bentuk jurus dan quote berupa satu dua paragraf yang merangkup pembahasan
sebelumnya. Seluruhnya ada tujuh kuis, dan jurus, sesuai dengan sub judul yang
dibubuhkan di kover depan buku ini: Djurus 3-1-3 Gebrak Doenia.
Meskipun begitu sebagai karya tetaplah buku ini memiliki kekurangan di
sana sini. Dalam tilikan saya, ada dua kekurangan. Pertama, penggunaan analisis
SWOT. Metode ini sudah mulai banyak ditinggalkan. Apa pasal? Lantaran SWOT
didasarkan pada asumsi bahwa hidup adalah masalah. Maka yang muncul kemudian
adalah deretan kelemahan dan ancaman yang justru hanya membuat ciut hati dan
gamang saat melangkah.
Sebagai gantinya kini banyak organisasi, lembaga perusahaan, dan
individu yang menggunakan analisis empati mitra. Analisis ini mereken hidup
sebagai nikmat (limpah, berkah). Fokus perhatiannya adalah pada setengah penuh
(optimisme), bukan setengah kosong (pesimisme). Asumsinya yang digunakan: hidup
adalah keajaiban (memasukkan unsur peran Tuhan dalam setiap peristiwa). Artinya
penggunaan analisis SWOT di buku ini justru menjadi paradoks tersendiri.
Kedua, saat memberikan contoh-contoh ikon atau sosok yang diniatkan bisa
memberikan inspirasi ke para pembaca lebih banyak mengambil tokoh dari luar
negeri. Mulai dari Mark Elliot Zuckerberg (facebook), Bill Gates (Microsoft), David
cook (American Idol), Sylvester Stallone, Dale Carnegie, Thomas Alfa Edison, Hellen
Kelleer, hingga John Major. Ada sih beberapa dari dalam negeri, tapi berasal
dari golongan tua. Seperti Chappy Hakim, Gol A Gong, Adam Malik, Ajip Rosidi, dan Andri Wongso.
Tidak ada yang salah dalam penyebutan nama-nama ikon di atas. Hanya
saja faedah sosial kurang. Kurang kontekstual, lantaran bentangan jarak waktu kehidupan
antara mereka dan para remaja sekarang lebar sekali. Sehingga justru
mengentalkan kesan mereka adalah tokoh-tokoh yang untouchable bagi
remaja masa kini. Terlalu besar sehingga tidak mungkin dijangkau.
Padahal kalau kedua penulis buku ini mau lebih banyak membaca, banyak
sekali ikon-ikon anak-anak muda di Indonesia saat ini yang layak untuk
dijadikan inspirasi. Kaitannya dengan pencapaian mereka di bidang
masing-masing. Sekadar menyebut contoh: Reza Nurhilman (keripik singkong pedas Maicih),
Andrew Darwis (pendiri media sosial Kaskus), dan Wahyu Aditya (sekolah animasi Hellomotion).
Deretan nama-nama ini dapat saya perpanjang lagi.
Informasi atas nama-nama di atas bisa langsung ditindaklanjuti oleh
para pembaca (remaja) misalnya dengan menghubunginya melalui sosial media
(facebook dan twitter). Meminta mereka menjadi mentor tidak hanya dalam ranah
ideal (semangatnya saja), tapi juga di lapangan praksisnya. Dengan begitu, informasi
yang dibentangkan tidak hanya berhenti pada sekadar tahu, tapi memantik
semangat para pembaca untuk terlibat dan mengalami (action). Mempraktikkan isi
buku.
Terlepas dari dua kekurangan tersebut, sebagaimana lazimnya buku, ia
merupakan tesis penulisnya. Dan risiko yang paling tidak bisa dihindari ketika
suatu tesis diujipublikan (diterbitkan dalam bentuk buku dan dibaca orang) adalah
kemungkinan dinegasi secara total (antitesis), atau dinegasi dengan revisi
(sintesa). Dan hakikat sintesis adalah tesis baru yang siap diujipublikan
kembali. Mendapat antitesis, memunculkan sintesa (tesis baru). Begitu terus
menerus sehingga akan bergerak menuju dan mendekati kebenaran dalam kadar yang semakin
tinggi. Atas dasar rangkaian peristiwa itulah ilmu pengetahuan berkembang. Peradaban
dikonstruksi dan ditegakkan. Maka ada yang menyebut bahwa menulis adalah
bekerja untuk peradaban. Nah, dalam upaya membangun peradaban itulah, buku ini
tepat diletakkan. Sebuah buku yang patut didaras. Sesal saya hanya satu, buku
ini harusnya terbit 20 tahun lalu, saat saya masih berseragam SMU.●
Terima kasih reviewnya pak, banyak masukan berharga dari review ini:-)
BalasHapusTerima kasih banyak Pak reviewnya. Bener-bener masukan berharga ini :)
BalasHapusSalam untuk Mbak Jazimah Al-Muhyi, salah satu penulis yang menginspirasi saya untuk menulis, tulisannya sudah saya baca sejak sekolah :)
iya tugas peresensi memang mencela, kalau sekadar sanjungan, endorser namanya. hehe. btw, selamat ya. udah mewarnai dunia literasi di indonesia dengan karya yang bagus. keep writing.
BalasHapusMantep pak, pantes jadi juara :)
BalasHapussudah baca di note fb mas..jadi belajar bikin resensi yg apik
BalasHapus