: agus m irkham
Kasmonah namanya. Usianya kurang lebih 57 tahun. Rambutnya sudah mulai
memutih. Sejak sekitar tahun 1988 sudah punya warung kebutuhan rumah
sehari-hari. Mulai dari bumbu dapur, sabun, minyak goreng, sayur mayur, dan
aneka kebutuhan lainnya. Kebetulan anak pertamanya, bernama Agus Palil, teman
saya seangkatan saat SD. Suatu pagi saya silaturahim ke rumahnya. Jarak rumahnya
dengan rumah saya sekitar 15 menit perjalanan kaki. Saat itu saya bertanya
tentang warungnya yang masih berjalan, padahal banyak warung lainnya yang
menjual bahan kebutuhan sehari-hari sudah bangkrut, tutup semua.
Gulung lapak akibat banyak pembeli yang notebenenya adalah para
tetangganya sendiri saat belanja ngutang duluan. Dibayar saat punya uang.
Persoalannya kapan punya uang tidak bisa dipastikan. Karena kebanyakan adalah
petani dan pelaut. Jika petani berarti saat panen. Artinya siklus bayar hutangnya
bisa 3-4 bulanan. Sedangkan pelaut minimal 2-3 bulanan. Praktis si pemilik
warung harus mensubsidi kebutuhan banyak keluarga yang suami dan ayahnya tidak
memiliki penghasilan tetap dan bulanan itu. Belum lagi jika ternyata sudah pada
batas harus melunasi, tetap saja belum bisa membayar. Hal inilah yang menyebabkan banyak warung di
kampung kolaps. Barang dagangan habis, tapi uang juga habis. Ironi.
Tentang ini, mbah Kasmonah—begitu saya panggil, panggilan yang saya
nisbahkan pada anak-anak saya—punya kiat sendiri. Ia harus punya modal dagang 4
kali lipat dari kebutuhan riil. Modal pertama untuk belanja. Modal kedua untuk
belanja jika barang habis, uang hasil penjualan belum ngumpul. Modal ketiga dan
keempat untuk backup sama. Risikonya memang, barang belanjaan yang dijual tidak
bisa dengan cepat bertambah, karena harus berhitung dengan risiko pembeli yang
ngutang dan tidak tepat waktu bayar. Mbah Kasmonah menceritakan itu dengan
enteng saja. Sambil senyam-senyum, dan pada wajahnya tidak nampak rasa bangga
atau ujub karena merasa telah menolong banyak orang.
Bu Kasmonah ini dapat saya golongkan sebagai “pensubsidi kehidupan” atas kehidupan banyak
keluarga yang mengalami keyatiman (tidak memiliki harta dan ilmu kecuali
sedikit). Dan itu ia lakukan dengan
senyum kegembiraan. Mungkin awalnya membuat kuatir dan sedih, karena bisa
menjadai ancaman buat keberlangsungan warungnya tapi karena dihadapi sebagai
suatu kenyataan atau kemestian, akhirnya buah-buah keikhlasan itu muncul. Ia tetap bisa bertahan. Dan pelan-pelan
peningkatan kesejahteraan hidup juga dapat diraih.
Mendapati itu semua, jiwa saya jadi kerdil. Merasa malu sendiri. Karena
ternyata apa yang sudah saya lakukan belum apa-apa jika dibandingkan jasa besar
bu Kasmonah ini dalam menciptakan harmoni kehidupan di lingkungan tetangga
sekitar. Dan saya yakin di belahan bumi lain di Indonesia ini ada banyak bu
Kasmonah lainnya.
foto: wikispaces.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar