Kamis, 12 Desember 2013

Warung Kasmonah


 : agus m irkham

Kasmonah namanya. Usianya kurang lebih 57 tahun. Rambutnya sudah mulai memutih. Sejak sekitar tahun 1988 sudah punya warung kebutuhan rumah sehari-hari. Mulai dari bumbu dapur, sabun, minyak goreng, sayur mayur, dan aneka kebutuhan lainnya. Kebetulan anak pertamanya, bernama Agus Palil, teman saya seangkatan saat SD. Suatu pagi saya silaturahim ke rumahnya. Jarak rumahnya dengan rumah saya sekitar 15 menit perjalanan kaki. Saat itu saya bertanya tentang warungnya yang masih berjalan, padahal banyak warung lainnya yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari sudah bangkrut, tutup semua.

Gulung lapak akibat banyak pembeli yang notebenenya adalah para tetangganya sendiri saat belanja ngutang duluan. Dibayar saat punya uang. Persoalannya kapan punya uang tidak bisa dipastikan. Karena kebanyakan adalah petani dan pelaut. Jika petani berarti saat panen. Artinya siklus bayar hutangnya bisa 3-4 bulanan. Sedangkan pelaut minimal 2-3 bulanan. Praktis si pemilik warung harus mensubsidi kebutuhan banyak keluarga yang suami dan ayahnya tidak memiliki penghasilan tetap dan bulanan itu. Belum lagi jika ternyata sudah pada batas harus melunasi, tetap saja belum bisa membayar.  Hal inilah yang menyebabkan banyak warung di kampung kolaps. Barang dagangan habis, tapi uang juga habis. Ironi.  

Tentang ini, mbah Kasmonah—begitu saya panggil, panggilan yang saya nisbahkan pada anak-anak saya—punya kiat sendiri. Ia harus punya modal dagang 4 kali lipat dari kebutuhan riil. Modal pertama untuk belanja. Modal kedua untuk belanja jika barang habis, uang hasil penjualan belum ngumpul. Modal ketiga dan keempat untuk backup sama. Risikonya memang, barang belanjaan yang dijual tidak bisa dengan cepat bertambah, karena harus berhitung dengan risiko pembeli yang ngutang dan tidak tepat waktu bayar. Mbah Kasmonah menceritakan itu dengan enteng saja. Sambil senyam-senyum, dan pada wajahnya tidak nampak rasa bangga atau ujub karena merasa telah menolong banyak orang.

Bu Kasmonah ini dapat saya golongkan sebagai  “pensubsidi kehidupan” atas kehidupan banyak keluarga yang mengalami keyatiman (tidak memiliki harta dan ilmu kecuali sedikit).  Dan itu ia lakukan dengan senyum kegembiraan. Mungkin awalnya membuat kuatir dan sedih, karena bisa menjadai ancaman buat keberlangsungan warungnya tapi karena dihadapi sebagai suatu kenyataan atau kemestian, akhirnya buah-buah keikhlasan itu  muncul.  Ia tetap bisa bertahan. Dan pelan-pelan peningkatan kesejahteraan hidup juga dapat diraih.

Mendapati itu semua, jiwa saya jadi kerdil. Merasa malu sendiri. Karena ternyata apa yang sudah saya lakukan belum apa-apa jika dibandingkan jasa besar bu Kasmonah ini dalam menciptakan harmoni kehidupan di lingkungan tetangga sekitar. Dan saya yakin di belahan bumi lain di Indonesia ini ada banyak bu Kasmonah lainnya.

foto: wikispaces.net








Tidak ada komentar:

Posting Komentar