Selasa, 24 Desember 2013

Muda, Kaya, Mati Masuk Surga


:: agus m irkham

Judul Buku: Kitab Sakti Remadja Oenggoel
Penulis: Riawani Elyta dan Oci Yonita Marhan
Penerbit: Indivia
Cetakan I: Juni 2013
Jumlah hlm: 200 halaman
Harga: Rp28.000
ISBN: 979-602-8277-95-2
Ukuran buku: 20 cm

Dimana-mana perubahan sosial digerakkan oleh kelas menengah. Kelas menengah dapat dicandrai melalui tiga ukuran. Pertama, kemapanan tingkat ekonomi. Kedua, pendidikan terakhir yang ditamatkan relatif tinggi. Ketiga, memiliki peran sosial yang luas dan berarti. Sesuai dengan sunatullah, aktor perubahan sosial ini akan terus mengalami penggantian. Sesuai dengan berjalannya jelujur waktu kehidupan ini. Dan pemasok pelaku perubahan itu adalah generasi muda. Termasuk bagian dari generasi muda ini adalah para remaja. Artinya, proses menggarap diri untuk menjadi kelas menengah agar mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi lingkungan itu seyogianya sudah dimulai dari kehidupan remaja. Sehingga ketika mereka bertumbuh menjadi kelas menengah, tidak sekadar menambah dari segi kuantitas atau jumlah saja, tapi lebih penting dari itu adalah kualitas.  

Maka sejak dini, mereka harus disadarkan untuk tidak lagi berfikir bahwa mereka  adalah objek perubahan, sebaliknya subjek perubahan. Tidak menyerahkan begitu saja nasib diri, lingkungan sosial, dan bangsanya kepada segolongan elit orangtua. Meminjam ungkapan Eep Saefullah Fattah dalan buku Provokasi Awal Abad (2000)—dengan sedikit revisi—para remaja harus berani merumuskan manifesto-nya sendiri saat berhadapan dengan siapapun. Termasuk ketika harus berhadapan dengan (calon) pemilik kuasa politik dan anggaran kaitannya dengan posisi para remaja sebagai pemilih pemula.

Petitih ini bukan sesuatu yang bersifat di atas langit sana. Karena secara faktual  peran anak-anak muda memang penting sekali dalam proses perubahan politik melalui gerakan civil society. Mengutip  nubuat Jane Foster, Kumi Naidoo, dan Marcus Akuhata-Brown via Eep Saefullah Fatah (ibid) dalam buku Youth Empowerment and Civil Society (1999): “Civil society probably needs young people much more than young people need civil society.”

Jalinan deskripsi yang saya dedahkan di atas kaitannya dengan buku yang tengah saya bedah ini adalah: dalam ruang pribadi pembacaan saya, buku ini dapat saya golongan sebagai bentuk manifesto itu. Bagaimana remaja memandang diri dan lingkungannya. Relasi diri dengan masyarakatnya. Serta hubungan antara ia dengan Tuhannya. Karena hakikat tiap kita adalah makhluk diri, sosial, dan Tuhan.

Pertanyaan pentingnya, manifesto seperti apa yang terdeklarasikan di buku setebal 200 halaman ini?

Dalam pandangan penulisnya, manifesto itu harus dimulai terlebih dahulu dengan sesuatu yang mendasar. Yakni kesadaran tujuan manusia hidup di dunia. Di lembar ke-33 secara bernas ditulis: Manusia hidup harus punya tujuan, dan tujuan itu harus diniatin dalam rangka menunaikan segala perintah-Nya. Karena hanya dengan niat yang benar, juga dibarengi dengan praktiknya, maka hidupmu insya Allah akan selamat. Nggak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.  

Dengan piranti teknis apa, tujuan mulia di atas hendak dicapai? Karena tetap saja meskipun tujuan hidup adalah untuk memenuhi kepentingan “langit”, manusia hidup di bumi yang terikat dengan sunatullah: ikhtiar. Artinya manusi tetap membutuhkan kausalitas natural untuk menyelenggarakan kehidupannya. Menegakkan wadag, menunaikan peran diri, dan melakukan perbaikan di lingkungan sekitar.

Ada tiga sarana teknis ditawarkan yakni pertama, mengenal diri melalui jawaban atas pertanyaan yang diformulasikan sebagai 5W+1H. Mengapa kamu ada (Why); Apa sih tujuan kamu hidup (What); Siapa sih diri kamu saat ini (Who); Sampai kapan kamu hidup (When); Di mana kamu sekarang berada (Where); Bagaimana kamu tercipta/ada (How).  (hlm 21-49).  Kedua, memetakan peta langkah dengan merujuk potensi dan cita-cita (misi) yang ada pada diri kita masing-masing dengan pendekatan SWOT (strenght, weakness, opportunities, thread), dan SMART (spesific, meansurable, achievable,  reasonable, time limited (hlm 78-83). Ketiga membuat proposal hidup berupa pengisian kolom-kolom pencapaian spiritual, intelektual, dan fisikal serta menggambarkannya dalam bentuk peta pemikiran atau mind maping (hlm 146-157). Titik terjauh yang hendak diraih dari tiga sarana teknis di atas–kalau boleh saya sederhanakan–adalah: muda, kaya, mati masuk surga

Jadi sebenarnya buku ini diturunkan dari konsep-konsep besar dan filosofis. Tapi oleh penulisnya dihadirkan ke khalayak pembaca dengan kemasan yang menarik. Sesuai dengan modalitas bahasa dan pergaulan anak remaja sekarang. Nampak betul buku ini sengaja ditulis dengan menggunakan gaya bahasa yang mengalir, renyah, cenderung mengobrol, guyon dan dikemas dalam tampilan yang menarik nan menggerakkan, sehinga menimbulkan efek seruan: Ahaa! di tiap lembar yang kita baca.

Penuturannya pun tidak terkesan menggurui karena ditulis betul-betul dalam bahasa mengobrol, layaknya memindah bahasa lisan ke tulisan, yang pada beberapa hal saya temukan kesannya jadi sangat centil. Tiap pembahasan adalah gabungan antara kisah hikmah, referensi teori atau pendapat ahli, serta rujukan alquran dan hadits. Dan semuanya diramu dengan ikatan yang padu sehingga tidak ada kesan para pembaca sedang diceramahi.

Menekuni buku ini, para pembaca (remaja) tidak saja menjadi cakap dalam merencanakan hidupnya tapi juga timbul rasa cinta terhadap kehidupan dalam konteks yang luas yaitu semesta.

Sisi menarik lainnya dari gaya penyajian buku ini adalah di tiap awal bab ada kuis berisi beberapa pertanyaan yang harus dijawab pembaca. Kuis menjadi semacam pre test sebelum pembaca mendaras lebih jauh isi di tiap bab. Tidak hanya itu. Ada pula simpulan di tiap pembahasan diwujudkan dalam bentuk jurus dan quote berupa satu dua paragraf yang merangkup pembahasan sebelumnya. Seluruhnya ada tujuh kuis, dan jurus, sesuai dengan sub judul yang dibubuhkan di kover depan buku ini: Djurus 3-1-3 Gebrak Doenia.

Meskipun begitu sebagai karya tetaplah buku ini memiliki kekurangan di sana sini. Dalam tilikan saya, ada dua kekurangan. Pertama, penggunaan analisis SWOT. Metode ini sudah mulai banyak ditinggalkan. Apa pasal? Lantaran SWOT didasarkan pada asumsi bahwa hidup adalah masalah. Maka yang muncul kemudian adalah deretan kelemahan dan ancaman yang justru hanya membuat ciut hati dan gamang saat melangkah.

Sebagai gantinya kini banyak organisasi, lembaga perusahaan, dan individu yang menggunakan analisis empati mitra. Analisis ini mereken hidup sebagai nikmat (limpah, berkah). Fokus perhatiannya adalah pada setengah penuh (optimisme), bukan setengah kosong (pesimisme). Asumsinya yang digunakan: hidup adalah keajaiban (memasukkan unsur peran Tuhan dalam setiap peristiwa). Artinya penggunaan analisis SWOT di buku ini justru menjadi paradoks tersendiri.

Kedua, saat memberikan contoh-contoh ikon atau sosok yang diniatkan bisa memberikan inspirasi ke para pembaca lebih banyak mengambil tokoh dari luar negeri. Mulai dari Mark Elliot Zuckerberg (facebook), Bill Gates (Microsoft), David cook (American Idol), Sylvester Stallone, Dale Carnegie, Thomas Alfa Edison, Hellen Kelleer, hingga John Major. Ada sih beberapa dari dalam negeri, tapi berasal dari golongan tua. Seperti Chappy Hakim, Gol A Gong,  Adam Malik, Ajip Rosidi, dan Andri Wongso.

Tidak ada yang salah dalam penyebutan nama-nama ikon di atas. Hanya saja faedah sosial kurang. Kurang kontekstual, lantaran bentangan jarak waktu kehidupan antara mereka dan para remaja sekarang lebar sekali. Sehingga justru mengentalkan kesan mereka adalah tokoh-tokoh yang untouchable bagi remaja masa kini. Terlalu besar sehingga tidak mungkin dijangkau.

Padahal kalau kedua penulis buku ini mau lebih banyak membaca, banyak sekali ikon-ikon anak-anak muda di Indonesia saat ini yang layak untuk dijadikan inspirasi. Kaitannya dengan pencapaian mereka di bidang masing-masing. Sekadar menyebut contoh: Reza Nurhilman (keripik singkong pedas Maicih), Andrew Darwis (pendiri media sosial Kaskus), dan Wahyu Aditya (sekolah animasi Hellomotion). Deretan nama-nama ini dapat saya perpanjang lagi.

Informasi atas nama-nama di atas bisa langsung ditindaklanjuti oleh para pembaca (remaja) misalnya dengan menghubunginya melalui sosial media (facebook dan twitter). Meminta mereka menjadi mentor tidak hanya dalam ranah ideal (semangatnya saja), tapi juga di lapangan praksisnya. Dengan begitu, informasi yang dibentangkan tidak hanya berhenti pada sekadar tahu, tapi memantik semangat para pembaca untuk terlibat dan mengalami (action). Mempraktikkan isi buku.   

Terlepas dari dua kekurangan tersebut, sebagaimana lazimnya buku, ia merupakan tesis penulisnya. Dan risiko yang paling tidak bisa dihindari ketika suatu tesis diujipublikan (diterbitkan dalam bentuk buku dan dibaca orang) adalah kemungkinan dinegasi secara total (antitesis), atau dinegasi dengan revisi (sintesa). Dan hakikat sintesis adalah tesis baru yang siap diujipublikan kembali. Mendapat antitesis, memunculkan sintesa (tesis baru). Begitu terus menerus sehingga akan bergerak menuju dan mendekati kebenaran dalam kadar yang semakin tinggi. Atas dasar rangkaian peristiwa itulah ilmu pengetahuan berkembang. Peradaban dikonstruksi dan ditegakkan. Maka ada yang menyebut bahwa menulis adalah bekerja untuk peradaban. Nah, dalam upaya membangun peradaban itulah, buku ini tepat diletakkan. Sebuah buku yang patut didaras. Sesal saya hanya satu, buku ini harusnya terbit 20 tahun lalu, saat saya masih berseragam SMU.●

   

Minggu, 15 Desember 2013

Belajar Menulis dari Teny dan Vivi


:: agus m. irkham

Peristiwa ini berlangsung sekitar tujuh  tahun lalu. Saat itu saya menjadi instruktur pelatihan menulis di klinik baca tulis perpustakaan kota magelang. Salah satu pesertanya adalah guru di SLB. Pak Budi namanya. Saya lupa, tepatnya SLB jenis atau kategori apa. Yang jelas seusai pelatihan, spontan saya diajak Pak Budi ini berkunjung ke SLB tempat ia mengajar. Untuk pertama kali, ketika saya mengiyakan ajakan tersebut, yang ada dalam benak saya adalah: siswa-siswa SLB ini harus aku dorong untuk menulis. Menceritakan tentang dunia mereka. Pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri. Serta pandangan lingkungan sekitar menanggapi keberadaan mereka. Dapat dibayangkan inspirasi seperti apa yang bakal ditimbulkan ketika siswa-siswa berkebutuhan khusus ini. Saat mereka mampu menceritakan harapan, cita-cita, kekuatiran, pendek kata segenap apa yang mereka pikirkan kepada dunia.

Dengan semangat seperti itulah saya memasuki satu ruang kelas yang diampu Pak Budi. Olehnya, saya diperkenalkan kepada murid-muridnya. Kelas yang saya masuki adalah jenjang SMA.Teny, Vivi, Ferdy, dan Agung, adalah empat nama siswa, dari sekitar 10 siswa, yang masih saya ingat. Khusus untuk terakhir yang disebut, memiliki keterampilan khusus, yaitu pandai menggambar kartun, dan karikatur.  Sedangkan dua nama awal disebut, oleh Pak Budi dikatakan sebagai murid yang menonjol. Memiliki kecerdasan dan rasa percaya diri yang lumayan tinggi ketimbang teman-teman yang lain. Tentu Anda jangan membayangkan kecerdasan yang saya maksud sebagaimana kecerdasan kebanyakan orang.

Singkat kata, saya memperkenalkan diri. Mencoba berbicara dan menyapa mereka yang seluruhnya bisu dan tuli. Tentu saja mereka tidak mendengar suara saya. Beruntung, di samping saya ada Pak Budi yang menerjemahkan ucapan saya dengan bahasa/isyarat jari. Berbarengan dengan itu, saya langsung minta diajari berkomuninasi dengan isyarat jari. Tapi tetap saja saya mengandalkan bahasa ucap, dengan cara pengucapan sedemikian rupa sehingga Teny dan teman-temannya mampu membaca gerak bibir saya. Dengan tetap ditemani ”penerjemah” saya, Pak Budi, saya terus mengajak mereka berdialog. Memberi kesempatan mereka bertanya. Oh iya, untuk pertanyaan dengan jawaban yang agak panjang, misalnya soal di mana alamat rumah saya, saya menuliskannya di papan tulis. Lalu mereka pun sambil riuh penuh ekspresi menyalin tulisan saya ke buku tulis masing-masing.


Tak terasa, waktu sudah menjelang dzuhur. Saya terus mencoba untuk berdialog. Saya beranikan diri untuk bertanya soal cita-cita setelah lulus sekolah. Ada yang mau menjadi penjual nasi goreng, ada yang mau bekerja di bengkel, banyak pula yang tidak berani menyebutkan cita-citanya. Saya tercenung mendapati kenyataan itu. Cita-cita mereka begitu sederhana dan “sepele” jika dibandingkan kebanyakan anak-anak seusia mereka di luaran sana. Bahkan kebanyakan murid-murid Pak Budi ini tidak berani bercita-cita. Mereka merasa tidak pantas bercita-cita. Menurut pak Budi salah satu kelebihan anak-anak didiknya adalah memiliki perasaan yang peka. Sensitivitasnya tinggi. Barangkali mereka tahu diri. Karena tak jarang, meskipun mereka di sekolah terlihat percaya diri, tapi ketika tinggal di rumah, atau di lingkungan rumah, mereka jadi minder. Karena tak jarang “keunikan” mereka jadi sasaran olok-olokan banyak orang. Makanya ada beberapa siswa yang terutama rumahnya jauh, lebih memilih untuk tinggal di sekolah. Yang memang fasilitas untuk itu telah disediakan pihak sekolah.

Sekarang, tibalah saatnya saya pada misi utama, yaitu mengajak mereka menulis. Tapi demi mengetahui kondisi mereka, saya urungkan niat itu. Sebagai gantinya saya mulai membagikan kartu berukuran 10 cm persegi ke masing-masing siswa. Mereka saya minta menuliskan apa saja tentang saya. Mereka saya berikan kebebasan, sebebas-bebasnya untuk memberikan komentar tentang saya. Di luar dugaan semua mau menulis, hanya saja susunan katanya tidak beraturan. Seperti yang dapat Anda baca di gambar berikut ini:




Anda paham yang dimaksudkan Teny dalam tulisan tersebut? Kalau belum berhasil menangkap maksud tulisan itu, coba Anda baca tulisan Vivi berikut, yang menurut saya tingkat kerumitannya di bawah tulisan Teny.
 

 Bagaimana? Masih juga sulit memahami maksudnya?

***

Dua kartu itu sering saya tunjukkan pada peserta pelatihan menulis. Sekaligus saya gunakan sebagai shock terapy peserta yang tidak pede dengan tulisannya. Merasa tulisannya jelek, tidak enak dibaca, kurang sistematis, dan lain-lain alasan. Tentu, saya tidak sedang berniat menjelek-jelekkan tulisan komentar Teny dan Vivi pada saya. Saya hanya ingin mengatakan, separah-parah Anda, manusia normal, pasti tulisannya tidak akan setidak urut Teny dan Vivi. Saya jadi paham, bisu dan tuli adalah menyangkut kerja saraf, dan ini juga sangat mempengaruhi kemampuan otak/syaraf untuk mengolah, merasakan, dan menggunakan bahasa, lebih spesifik adalah kata-kata. Jadi dapat dikatakan Teny dan Vivi ini memang sudah ”ditakdirkan” untuk tidak bisa menulis. Tapi, ini simpulan saya pribadi, yang tentu saja sangat subjektif, dan belum berhasil saya cari referensi penguat atas simpulan tersebut.   

Nah, saya, Anda ini kan manusia normal, tentu akan jauh lebih mudah menguasai kata-kata ketimbang Teny dan Vivi kan?!. Maka sebagai bentuk rasa syukur atas karunia kenikmatan dan kelengkapan piranti hidup yang telah diberikan Tuhan tersebut, sudah selayaknya Anda menulis. Dan jangan lagi beralasan tulisan saya jelek!

***

Dan yang mengharukan di saat saya pamit pulang, Agung maju ke depan menyerahkan gambar karikatur saya yang tengah duduk bersila dengan kedua tangan saya tengah memegang buku. Saya salami dia, sambil mengucapkan kata terima kasih. Ia pun tersenyum, sama-sama. Lalu, Teny, Ferdi, Vivi, dan siswa-siswa lain bergiliran menyalami saya, lengkap dengan senyum lepas mereka.

Kamis, 12 Desember 2013

Mengalami Indonesia

:: agus m irkham
 
Wahai huruf.....
Alangkah akan tingginya ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi buku terbuka
Bagi manusia yang membacanya.

(Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1, 2004)
 
 “Yang saya kuatirkan bukanlah cita-cita tinggi dan orang gagal menggapainya. Tapi cita-cita itu terlalu rendah, dan ia berhasil mencapainya.”  Demikian nasihat Victor Hugo berabad kurun lalu—dengan sedikit revisi.

Bagaimana makna lugas  nasihat tersebut?

Cita-cita perannya sangat penting dalam kehidupan. Baik dalam wilayah pribadi maupun komunitas (bangsa). Ia bisa menumbuhkan semangat untuk maju dan berkembang.  Persoalannya ada sebagian orang yang berani bercita-cita tinggi. Namun sebagian besar lainnya, teramat sederhana. Bahkan ada yang tidak berani bercita-cita.

Cita-cita adalah semata-mata mimpi yang bertanggal. Demikian nubuat bijak bestari. Ia menjadi satu-satunya yang dimiliki oleh yang tidak berpunya.  Persis seperti yang diucapkan Arai kepada Ikal dalam Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. “Orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu. Kita tidak akan mendahului nasib kita. Pesimistis tak lebih dari sikap takabur.”

Berdasarkan pengalaman empiris, keberanian bercita-cita berada dalam satu kayuhan dengan seberapa jauh seseorang telah melakukan penjelajahan geografis. Dalam deskripsi yang berbeda, seberapa jauh jangkauan spasial (ruang) seseorang, memiliki pengaruh yang besar terhadap seberapa tinggi dan berani ia bercita-cita. Maka, salah satu cara yang paling sederhana untuk mendorong seseorang berani bercita-cita adalah dengan membuat mobilitas horizontal-spasialnya tinggi dan luas. 

Ini saya sebut dengan istilah "Mengalami Indonesia." Yaitu strategi melahirkan cita-cita yang tinggi nan mulia sekaligus menebalkan rasa nasionalisme/ke-Indonesia-an (kebangsaan) anak-anak muda, dengan mendorong mereka untuk melancong ke segala penjuru Nusantara. Tidak saja menikmati keindahan panorama, lebih dari itu mengakrabi kehidupan sosial. Secara fisik dan emosi. 

Logika sederhananya seperti ini: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Bagaimana mungkin pada diri seseorang akan tumbuh rasa memiliki, mencintai, dan menjadi bagian dari bangsa ini (Indonesia) jika mengenal saja tidak.

Sehingga penjelajahan fisiknya merupakan aksi ideologis, bukan semata-mata untuk kesenangan bersifat material.  Bakda melancong ia akan mendapat banyak pengalaman batin dan sosial. Sehingga membuatnya memiliki beragam perspektif dalam melihat dunia (persoalan/fenomena).  Tidak sedikit tokoh yang peran diri, cita-cita, dan pemikirannya meraksasa dan memengaruhi dunia didapat setelah menempuh metode “mengalami” ini. 

Para founding fathers macam Mohamad Hatta, Soekarno, Agus Salim, dan Tan Malaka adalah sedikit contoh, bagaimana “luasan mengalami” spasial ke-Indonesia-an dan dunia dapat mendorong untuk berani bercita-cita tinggi dan mulia.

Contoh lain, idola para aktivis pergerakan mahasiswa: “Che” Guevara.  Ia memperoleh kesadaran untuk bahu membahu dengan Castro membebaskan Kuba dari derita penguasa tiran adalah setelah  berjalan-jalan keliling Amerika Latin dan menyaksikan penderitaan kamu miskin Amerika Latin. Hingga pada satu titik keluar kata-kata penuh maknanya: Let the world change you, and you will change the world.  Biarkan dunia mengubah mu, maka engkau akan mengubah dunia.

“Biarkan perjumpaanmu dengan pengalaman-pengalaman baru menjadikanmu lebih dewasa dan kemudian tampil ke depan sebagai orang-orang yang mampu memberikan jawaban.” Tulis Shofwan Al Banna (2007).
Jika kesempatan melakukan perjalanan belum datang, baik alasan teknis, waktu maupun uang, bisa menambung pengetahuan dulu melalui aktvitas membaca. Sehingga ketika kesempatan melancong datang, bisa dijadikan sarana konfirmasi, dan afirmasi atas apa-apa yang telah dibaca. Membaca menjadi jendela mengenal Indonesia dan dunia untuk kemudian mengalaminya.

Membaca dapat dijadikan sarana untuk mengafirmasi sekaligus menegasi kenyataan kehidupan. Menjadi sarana untuk memasuki kehidupan sesungguhnya yang barangkali antara das sien dan das sollen sangat berbeda. Jika apa yang dikatakan buku adalah tesis, maka sangat boleh jadi yang berlangsung di luar buku adalah antitesis. Interaksi yang intens atas keduanya akan menghasilkan sintesa (tesis baru). Terbentuknya kesadaran baru pada tingkat yang lebih tinggi.

Membaca memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan pembaca dan dunia teks. Sehingga berlangsung tindakan eksistensial pembaca yang membuat makna sendiri atas teks. “Pembaca seperti menerapkan makna tekstual ke dalam kehidupan konkretnya,” ujar Karlina Leksono Supeli (Buku dalam Indonesia Baru, Edit. Alfons Taryadi, 1999). Berpartisipasi di alam kesamaan makna yang ada di dalam teks.

***

Kaitannya dengan deskripsi di atas, saya ada sekelumit cerita saat ber-backpacker ke Negeri Jiran, Singapura. Di negeri “1001 denda” ini, kami bermalam di hostel khusus para backpacker menginap.  Persisnya di kawasan Little India. Sesuai dengan namanya, kawasan ini memang mayoritas dihuni oleh etnis India. Kamar yang kami tempati berukuran sekitar 3 x 4 meter. Ada empat dipan bertingkat dua. Jadi satu kamar ditempati 8 orang.

Di kamar ini, kami berkenalan dan terlibat obrolan yang hangat dan akrab dengan para backpacker dari India, Kanada, Swis, Jerman, China, dan Jepang.  Usia mereka rerata masih muda. Perkiraan saya kurang dari 30 tahun.  Yang saya lihat dari mereka adalah sosok-sosok yang penuh vitalitas, semangat, optimistik, sekaligus memiliki pengetahuan yang memadai tentang situasi dunia. Satu lagi mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Bisa jadi itu didapatkan karena mobilitas antar negara dan benua yang mereka lakukan sudah sangat tinggi. Mereka telah berada pada satu kondisi: menjadi warga dunia dalam pengertian yang sebenarnya.

Dalam konteks mengalami Indonesia, ikhtiar untuk menjadi warga bangsa Indonesia dalam arti sesungguhnya  bisa dilakukan dengan menjadi backpacker domestic.  Sudah saatnya para remaja kita, anak-anak sekolah, terutama yang sudah duduk di bangku SMA dan mahasiswa didorong dan difasilitasi untuk mengalami Indonesia. Untuk menjadi backpacker domestic. Sehingga mereka akan memperoleh kesadaran kebangsaan jauh-jauh hari. Sehingga sejak muda, cara berfikir dan cita-cita mereka sudah menasional.  Berkesadaran “satu dalam perbedaan” dan “beda dalam persatuan”.

Dan salah satu bentuk persiapan sebelum berperjalanan mengalami Indonesia dan dunia, adalah dengan mengumpulkan dan membaca beragam informasi tentang tempat yang akan dituju. Sehingga saat berperjalanan, tidak sekadar melakukan perjalanan fisik (berpindah badan/wadak dari satu tempat ke tempat lain), serta beraktivitas fisik pula (melihat pemandangan alam serta berbelanja), tapi juga mengakrabi kehidupan masyarakat (sosial) tempat tujuan tersebut. Dengan begitu akan muncul rasa cinta dan pelingkupan (inklusivitas) dan penerimaan diri: saya dan Anda bersaudara. Sama-sama sebagai anggota warga Indonesia dan dunia.


Diterbangkan Buku


Booksigning usai bedah buku IPK di STAIN Salatiga
:: agus m. irkham

InsyaAllah Selasa pagi, 17 Desember 2013 nanti buku 24 Cara Mendongkrak IPK: Sebuah Diary Mantan Mahasiswa Bodoh akan dibedah di UIN Jogjakarta. Dalam hitungan saya ini adalah bedah buku yang ke-22 kali sejak buku tersebut terbit September 2010.

Sebelumnya pernah dibedah di Universitas Sriwijaya (Palembang), Universitas Mulawarman (Samarinda, dua kali), Universitas Diponegoro (Semarang, di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Fakultas Kesehatan Masyarakat), Universitas Islam Nusantara (Bandung), STAN Jakarta, STAIN Salatiga, Universitas Negeri Yogyakarta (dua kali), UIN Jogjakarta, Universitas Muria Kudus, Universitas Jenderal Sudirman (Purwokerto), Universitas Brawijaya (Malang), IAIN Sunan Ampel  (Surabaya), IAIN Walisongo Semarang, Universitas Negeri Padang (bersamaan dengan pelatihan menulis), Universitas Udayana (Bali), dan Institut Seni Indonesia (Surakarta), Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, dan Universitas Semarang.   

Alhamdulilah dengan wasilah atau perantara buku ini saya bisa masuk ke banyak perguruan tinggi, baik di jawa maupun luar jawa. Tentu saja, tiap tempat (perguruan tinggi) memiliki cerita masing-masing. Mulai dari proses sebelum berlangsungnya acara hingga saat acara. Dari 21 kali bedah buku yang saya bersamai tersebut ada satu kesan paling unik—atau lebih tepat disebut paling beda dan sempat membuat saya “gila”—yang saya rasakan, yakni saat bedah buku di ISI Surakarta.

Berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, saat bedah buku di ISI, sampai dengan saya menginjakkan kaki ke tangga gedung acara, saya belum punya gambaran yang gamblang, lewat pintu mana saya harus masuk. Di kepala saya, satu pertanyaan terus berputar-putar: apakah perolehan IPK tinggi itu penting buat mahasiswa ISI.

Apalagi saat saya coba masuk ke website ISI dan membaca satu persatu pilihan program studi, seperti Seni Tari, Seni Kriya, Seni Rupa, dan Seni Pendalangan, rasa-rasanya semakin tertutup pintu masuk buat saya untuk membicarakan IPK di ISI. Karena semua pilihan program itu sangat bersifat pribadi, substil, dan bernilai kualitatif.

Tapi entah, apakah di tubuh saya memang mengandung darah seni atau tidak, begitu saya bertemu dengan beberapa panitia yang menurut saya citraan luarnya agak berbeda, dan mendapati perlakuan mereka  yang bersahabat, kebekuan di kepala mulai mencair. Saya seperti anak hilang yang baru saja pulang, dan masuk ke rumah sendiri (asal), dan bertemu dengan keluarga saya.
Apalagi setelah bertegur sapa  dan berdiskusi terlebih dahulu di ruang transit dengan pembicara pembanding, Drs. Subandi M. Hum, dosen sekaligus Kepala Pusat Penjamin Mutu ISI Surakarta.  Jalan yang semula buntu, tiba-tiba ada 1000 pintu  terbuka yang dapat saya masuki untuk menjadi bahan diskusi saat bedah buku.  

Singkat cerita , dari diskusi awal dengan Pembanding, saya jadi tahu, kalau ternyata mahasiswa ISI tetap saja memerlukan perolehan “IPK psikologis” terutama buat para sarjana yang ingin berkarir atau masuk ke ranah industial, bukan personal. Termasuk jika ingin meniti karir menjadi dosen di lingkungan ISI.

Selanjutnya, jalannya bedah buku menjadi sangat mengalir lancar.  Diskusi hidup. Lalu lintas pertanyaan padat, hingga waktu yang tersedia tidak cukup. Bedah buku di ISI Surakarta ini juga memberikan beberapa masukan dan inspirasi buat saya, yang saya pastikan sangat berguna untuk pengayaan dan pendalaman sekaligus revisi buku IPK.

Klop sudah dengan apa yang saya katakan saat membuka pembicaraan dengan para mahasiswa ISI yang hadir. Bedah buku dan buku itu sendiri buat saya menjadi sarana untuk mengujipublikkan apa-apa yang saya yakini  sebagai sebuah kebenaran. Jadi jalannya diskusi bisa saja isinya merupakan penolakan atau antitesis atas apa yang saya tulis. Tapi justru dengan begitu saya memiliki kesempatan untuk menilik ulang isi buku saya, dan mendialogkan antitesis itu, sehingga melahirkan sintesa yang sejatinya merupakan tesis baru dalam kadar atau nilai kebenaran yang lebih tinggi.

Berkah lain dari seringnya keluar masuk perguruan tinggi baik diundang dalam rangka bedah buku maupun menjadi pemateri pelatihan menulis lantas bertemu dengan para mahasiswa, dosen, staf akademik-kemahasiswaan, merasakan kembali atmosfir kehidupan kampus, adalah munculnya  impian pada diri saya bahwa suatu saat saya akan secara penuh kembali ke kampus. Mengajar. Ya, mengajar. Saya melihat posisi perguruan tinggi ini sangat strategis. Menjadi produsen kelas menengah. Dan kelas menengah ini dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa memiliki peran kunci terjadinya perubahan. 

Secara simplisitis awan persoalan klasik dan klise yang terus menggelayut di atas langit Indonesia yakni  pengangguran, kemiskinan, serta ketidakadilan dapat dibaca sebagai buah kegagalan kelas menengah. Ketidamampuan kaum sarjana memberikan peran yang siginifikan di masyarakat. Kelahiran para sarjana ini baru mampu menambah kelas menengah di Indonesia dari sisi jumlah (kuantitas). Belum memberikan peran yang berarti (kualitas). Perlu ijtihad proses perkuliahan yang serius dari pengelola perguruan tinggi agar ke depan, para lulusannya betul-betul menjadi agent of change.

Dengan mengajar secara penuh di perguruan tinggi, akan memberikan kesempatan dan keleluasaan pada saya untuk mentransformasikan isi buku IPK dalam jalannya perkuliahan. Karena buku tersebut saya tulis memang  sebagai bagian dari ijtihad saya agar perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia mampu melahirkan sarjana kuadran pertama. Sarjana yang memiliki indeks prestasi kumulatif “sempurna”, sekaligus indeks peradaban kumulatif “menggetarkan”. Sehingga, dalam ungkapan yang agak hiperbolis, kehadiran para kelas menengah baru ini menggenapkan. Dan ketiadaannya mengganjilkan. Dipandang dari segi kontribusi mereka bagi kemajuan bangsa dan negara.