Minggu, 18 Januari 2015

Sepenggal Kisah Lampau

:: agus m irkham


Ada dua cerita yang saling berlepasan tapi sejatinya bertemu pada satu titik. Pertama. Cerita ini sudah terjadi lama sekali. Yakni saat saya di SMA. Tahun 1996. Menjadi anak pandai secara akademik tentu saja senang. Selain jadi populer di sekolah, juga sering dapat fasilitas beasiswa dan hadiah macam-macam saat juara kenaikan kelas. Sejak SD hingga SMA saya sudah biasa mendapatkan rangking 1.

Mulai dari skup sekelas yang jumlah siswanya puluhan, hingga kelas paralel yang jumlahnya ratusan siswa. Maka, itu sebab barangkali sekarang ini, saya tidak silau terhadap sebutan pandai, cerdas, pintar atau whatever-lah. Buatku sebutan itu semua jadi biasa saja. Tidak memunculkan rasa bangga diri. Datar saja.
 
Karena menjadi anak yang sejak kecil pandai akademik, tentu harapan orangtua jadi melambung. Kebetulan hanya saya yang sejak SD hingga SMA bersekolah di sekolah negeri terus. Yang di lingkungan keluarga besar dan tetangga kampung disamakan dengan kepandaian atau kecerdasan seseorang. Maka saya pun dianggap akan dengan mudah masuk perguruan tinggi negeri. Besar sekali harapan orangtua, termasuk keluarga besarku, saya diterima di perguruan tinggi negeri.
 
Tertekan juga saya mendapati kenyataan itu. Akhirnya demi mengurangi rasa kuatir, sebelum lulus SMA saya mengikuti PMDK (masuk ke PTN dengan cukup mengirimkan nilai raport), ikut bimbingan UMPTN juga, terus ikut ujian masuk D3, terus UMPTN. Singkat cerita, semua berakhir dengan kegagalan.  Tak terbayang gelapnya hidup saya waktu itu. Bayangkan saja, saya yang sebelumnya memiliki prestasi akademik bagus tiba-tiba dihadapkan pada satu kenyataan berupa tiga kali kegagalan. PMDK, D3, dan UMPTN. Dan ironisnya saya telah mengikuti bimbingan belajar masuk perguruan tinggi segala.

Di usia remaja dan dalam suasana psikologis yang masih mencari jati diri, saya harus berhadapan dengan ujian kegagalan. Situasi batin yang saya alami kian berat karena dalam kamus saya, orangtua, dan kelurga besar saya, khusus buat saya “haram” hukumnya kuliah di PTS.
 
Akhirnya, saya harus bersabar menunggu setahun lagi, untuk ikut UMPTN lagi. Yang saya lakukan sehari-hari betul-betul hanya membunuh waktu saja. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah (domestik), seperti menyapu, mengepel, dan lain-lain yang sejenis itu. Sedikitpun saya tidak memiliki keinginan untuk pergi atau memiliki sesuatu. Dan hampir-hampir saya tidak pernah bicara banyak. Termasuk kepada orangtuaku.

Gejolak batin saya lebih banyak saya tuliskan di kertas-kertas. Saat itu saya belum memiliki diary secara khusus. Tapi tentu saja hubungan saya dengan orangtua tetap baik. Saya tidak pernah membantah saat diperintah atau dimintai tolong. Pokoknya betul-betul tanpa perlawan dah.
 
Di luar itu ya curhat sama Allah. Setelah sholat wajib. Nangis-nangis gitu deh. Merasa betul-betul hopeless. Dan merasa (menyadari) tidak satu pun yang bisa menolong, bahkan diri saya sendiri—untuk memastikan bisa kuliah di PTN—kecuali Allah. Menjelang 1-2 bulan, saya coba baca lagi modul-modul UMPTN yang setahun lalu saya dapat saat ikut bimbel. Dan dengan tidak begitu percaya diri, mungkin tepatnya tidak lagi menyombongkan diri bakal diterima, saya mendaftar UMPTN.  Happy ending. Saat pengumuman saya diterima di Undip, Semarang.
 
Cerita kedua, yakni saat kelahiran anak saya yang keempat. Kebetulan mulai dari anak pertama hingga keempat, saya selalu di samping istri, saat ia melahirkan (bersalin). Jadi semacam “asisten bidan” tapi untuk urusan psikologis, hehe. Anak pertama, lahir di rumah. Anak kedua dan ketiga lahir di bidan. Dan anak keempat lahir di rumah sakit. Tiap kelahiran memiliki cerita masing-masing. Tapi yang paling dramatis adalah kelahiran anak keempat.
 
Pengin tahu sedramatis apa ceritanya?
 
Begini awalnya. Sehari sebelum lahir. Saat itu siang hari, saya masih kerjabakti di Mushola depan rumah. Istri memanggil saya. Bilang kalau ketuban udah pecah. Tapi masih berupa lelera-leleran sedikit. Saya pun bergegas mengantar ke bidan terdekat. Oleh bidan diperiksa, ternyata udah bukaan satu. Tapi disarankan pulang dulu saja. Tapi pesannya kalau esok belum juga lahir, diminta datang lagi untuk dibuatkan surat rujukan ke rumah sakit.
 
Kami pun pulang. Esok harinya, leleran ketuban semakin deras. Saya pun langsung nelpon dokter kandungan langganan kami. Namanya dokter Jundan (istri saya pada kehamilan kedua pernah kiret karena hamil anggur, dan dokter ini yang mengoperasi). Dari suaranya yang berat, sepertinya dokter Jundan baru saja bangun tidur. Saya tepis rasa bersalah karena telah mengganggu jam istirahat beliau. Begitu saya beritahu ketuban udah terus mengalir, beliau langsung meminta untuk segera dibawa ke rumah sakit. Rumah Sakit Islam Kendal. Kalau dari rumah kami sekitar 10 km.
 
Saya pun buru-buru membawa istri ke rumah sakit. Ditemani om (yang nyetir mobil) dan anak pertama saya, Aulia yang usianya pada waktu itu sekitar 5 tahun lebih dikit. Sesampainya di rumah sakit, sekitar jam 8 pagi istri saya langsung dipacu. Yakni dengan memasukkan cairan dalam botol infus dan dialirkan ke tubuh melalui jarum suntik yang ditubleskan di nadi tangan sebelah kiri.
 
Habis satu botol, bukaan lahiran tak kunjung-kunjung nambah. Padahal perut udah sakit sekali, karena pengaruh obat pacu tersebut. Waktu itu sekitar jam 1 siang. Lantas istri, sambil nangis, dan disaksikan para perawat meminta izin saya untuk lebih baik operasi sesar saja. Karena sudah tidak kuat menahan sakit. Cairan ketuban juga terus keluar. Kuatirnya nanti ketuban sudah kadung habis, bayi belum mau keluar.
 
Akhirnya, saya mengizinkan. Lantas botol kedua obat pacu pun dihentikan. Dan istri saya sudah merasa baikan lagi. Perutnya tidak lagi seperti dikrues-krues. Lalu saya dekati. Saya candai. Bener ma, mau sesar. Nanti kalau mau nambah (anak) minimal harus  menunggu 4-6 tahun lagi lho. Terus, katanya kalau abis sesar badrest-nya lama. Mendengar candaan saya itu, istrinya tersenyum, dan di wajahnya nampak keraguan. Tapi tidak sampai membatalkan dirinya untuk tetap minta disesar. Mungkin karena masih trauma dengan rasa sakit akibat obat pacu itu.
 
Kami harus menunggu jadwal sesar. Karena kebetulan jumlah dokter kandungan terbatas. Dan dokter Jundan tengah menangani pasien. Jadi kami harus antri. Di saat menunggu itu saya minta izin istri untuk keluar sebentar. Saya menuju masjid rumah sakit. Mengambil air wudhu, dan melakukan sholat mutlak dua rakaat, dan berdoa. (tentang ini saya mengikuti apa yang pernah dilakukan imam khumaeni, tokoh pembaharu, dan ulama besar di Iran). Doa saya khusus saya tujukan pada proses persalinan istri.

Saya minta ke Allah ketentuan yang terbaik buat kami. Sambil tak lupa tetap mengucapkan pengharapan agar proses kelahirannya berjalan normal. Tidak perlu sesar. Karena meskipun jalan itu sepertinya jalan mudah, tapi menyisakan “penderitaan” tak terkira setelah proses operasi selesai.

Usai sholat, saya masuk lagi ke sal tempat istri berbaring. Ia sudah berganti baju operasi warna hijau. Waktu itu jam tiga kurang limabelas menit. Tiba-tiba saja, istri saya merasa perutnya mulas sekali. Lantas, saya pun segera memanggil para perawat. Begitu dicek, ternyata udah bukaan 6-7. Dan terus mengalami kontraksi. Kami pun heboh tergopoh-gopoh menyiapkan perlengkapan melahirkan. Memakai kaos tangan, mengeluarkan sarung, jarik dari dalam tas yang saya bawa.  Ketika perawat meminta istri saya untuk ambil nafas dan istirahat sebentar yang terjadi justru istri saya mengejan kembali. Seolah-olah si bayi sudah tak sabar ingin keluar (lahir). Akhirnya kurang dari 15 menit. Putra keempat kami lahir. Kami menamainya Ihtimam Hamzah Zakaria Irkham, sesuai dengan kisah kelahirannya yang penuh “keajaiban” itu.
 
Suasana batin yang saya hadirkan pada dua peristiwa di atas adalah betul-betul sikap pasrah. Merasa saya betul-betul dhoif, lemah. Hampir-hampir tidak lagi memiliki kehendak atas sesuatu. Semua terserah Allah. Saya terima saja bulat-bulat.  Bahkan ikhtiar lahiriah yang saya upayakan itu kalau tidak karena izin Allah, juga tidak dapat saya lakukan.
 
Dan dalam suasana batin seperti itu, justu yang saya rasakan bukannya runtuh semangat, tapi justru sebaliknya. Tetap bersemangat, berikhtiar sebaik mungkin, dan memasrahkan segala hasil akhirnya kepada Allah Swt semata. Bawaannya jiwa saya jadi enteng. Langkah kaki ini menjadi ringan. Beban yang sebelumnya memberati kepala dan pundak terangkat tak tersisa.
 
Lantas kenyataan yang kemudian berlangsung, saya yakin itulah kekuatan doa. Dalam bahasa yang agak rumit, sesuatu yang sebelumnya terbatas, tidak mungkin, terhingga, menjadi tidak terbatas, serba penuh kemungkinan, dan tak terhingga ketika kita sudah memasukkan dan melibatkan Allah Swt dalam setiap ikhtiar yang kita lakukan.
 
Pengalaman yang saya alami saat sma itu, belakangan juga saya sadari memang menjadi cara Allah mendidik saya untuk senantiasa akrab dengan kegagalan, kekecewaan, mengolah rasa batin (spiritualitas). Semacam tes-tes kecil yang sederhana untuk di kemudian hari akan diberikan soal-soal ujian yang lebih sulit dan berat.
 
Dan pengalaman itu semua sepertinya yang turut pula membentuk kedirian saya saat ini yang lebih condong ke hal-hal yang sifatnya sufistik (kontemplasi batin). Selalu melihat di balik yang nampak. Selalu berusaha menyimak tabir rahasia perintah Allah di balik setiap kenyataan hidup yang disapakan kepada saya.

Dua kenyataan di atas semakin memahamkan saya pada satu ungkapan:

"Ikhtiar adalah proses yang harus ditempuh yang tidak mewajibkan kita untuk tiba pada yang kita tuju. Ikhtiar urusan kita. Hasil sepenuhnya hak Allah. Teruslah melangkah. Temukan rahasia perintah Allah di balik helai amanahnya. Sibak tabir amar Allah di balik tiap fasilitasnya. Teruslah melangkah. Jangan pernah merasa mapan, kecuali nanti di hadapan Allah. Agar hidupmu senantiasa diliputi keajaiban."

Selasa, 13 Januari 2015

Ketawakalan

:: Agus M Irkham

Ketika para tamu sedang berkumpul di ruang tunggu, seorang ahli hikmah mengajukan pertanyaan secara massal: “Berapa persen perkiraan kalian tentang rencana, latihan, rekayasa, dan usaha kalian akan membawa hasil?”

Jawab mereka satu persatu:
Petani : 75 persen pak.
Pedagang : 70 persen pak.
Pengrajin : 60 persen pak.
Seniman : 15 persen pak.
Olahragawan : 80 persen pak.
Rentenir : 90 persen pak.
Sopir : 40 persen pak.
Kiai dan Pendeta : 100 persen pak.

Kemudian Kiai ganti tanya kepadanya: “Lalu Anda sendiri berapa persen?”
“Saya sih cuma nol persen.  Selebihnya karunia Allah semata-mata,” jawab ahli hikmah.

Cerita saya saya kutip dari buku Langit-Langit Desa anggitan (Alm) Muhammad Zuhri di atas buat saya memiliki makna penting.  Dalam tiap keberhasilan sering kali kita—kalau boleh mengkit akan saya—merasa telah memiliki kontribusi atau sumbangan yang besar. Padahal kita hanya sekadar memanfaatkan apa-apa yang sudah terhidang sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan Allah.  Semua sumber daya dan piranti yang kita gunakan untuk mewujudkan keberhasilan itu sudah diberi Allah secara gratis.

Tangan, siapa yang menumbuhkan tangan hingga panjang, besar, dan kuat untuk menggenggam.  Kaki, siapa yang menumbuhkan kaki hingga bisa kuat berpijak di atas bumi.  Otak, siapa yang menganugrahkan otak hingga bisa digunakan untuk berfikir dan memberikan pertimbangan-pertimbangan.  Mata, siapa yang menciptakan mata dan melekatinya dengan kemampuan untuk merasakan keindahan pandangan.

Nyawa—sumber dari segenap eksistensi kita—siapa yang sebenar-benarnya memiliki nyawa?  Sungguh, untuk sesuatu yang kita akui sangat berharga itu saja kita tak kuasa sedikitpun atasnya. Kita tidak tahu, sekalipun nol koma sejuta nol persen, apakah nanti atau esok nyawa itu akan masih tetap menyatu bersama jasad kita, atau sebaliknya.  Menyadari itu semua, tak layak rasanya hidup kita diliputi kegamangan dan kesedihan akan masa depan. Kekuatiran akan kegagalan-kegagalan yang akan kita petik atas setiap ikhtiar kita.

Jadi, hakikat tiap keberhasilan dan kesuksesan yang kita raih seluruhnya karena Allah.  Hada min fadli robbi. Semua ini, sepenuhnya berasal dari fadilah Allah. Sumbangan kita nol persen.  Andil kita nol besar.  Keberhasilan, kesuksesan, sebagaimana pula kegagalan sematamata wujud dari kuasa (kodrat) dan kehendak (irodah) Tuhan.

Itulah sejatinya sikap tawakal. Dalam kondisi tersebut saat berhasil, tidak akan membuat kita bertepuk dada.  Jika gagal, tidak akan membuat kita meratapi nasib. Karena hakikat keduanya sama: dari sisi Allah jua.

Betul apa yang dikatakan seorang ahli hikmah, bahwa tiap kenyataan yang kita temui sejatinya merupakan “wajah Allah”.  Maka kita tidak boleh berwaksangka terhadap kenyataan tersebut.  Karena bisa jadi, melalui kenyataan yang disapakan kita tersebut, memberikan jalan bagi kita untuk mendapatkan kenyataan baru yang lebih membahagiakan dan memenuhi harapan kita.●

Tiga Pemijit

:: Agus M Irkham

Selain olahraga basket, saya sangat menyukai volley.  Dulu, di awal-awal tahun 2000 hampir setiap sore saya bermain volley.  Namun setelah menikah tahun 2004 hingga sekarang saya sudah tidak pernah bermain volley.  Satu-satunya olahraga yang masih rutin saya lakukan adalah renang.
Hanya saja mulai oktober 2014 lalu, saya kembali bermain volley.  Mulanya saya sedang jalan-jalan dengan anak-anak keliling kampung, saat melewati lapangan volley desa, ada banyak anak-anak muda sedang berlatih bola volley.  Mengetahui itu, ingatan saya langsung tertuju pada keasyikan saat bermain volley sekitar 10 tahun lalu.  Lantas, keesokan sorenya saya pun langsung berlatih bermain volley kembali.  Saat main, saya lebih senang bola-bola pendek atau quick ketimbang semi apalagi long.

4-5 kali latihan, badan terasa sakit semua.  Mungkin karena otot yang menegang, maklum saja sudah lama sekali saya tidak volley.  Hingga pada suatu ketika saat saya melakukan smash,  bahu dan pinggang saya terasa nyeri sekali.  Dan akibatnya kaki kanan saya terasa sakit.  Terutama untuk duduk.  Bisa jadi karena saya kurang pemanasan, akibatnya cidera otot.  Tapi bisa jadi sepertinya lebih ke faktur u saja.  Alias usia saya yang sudah tidak muda lag.  Meskipun belum bisa disebut tua juga sih. #halah!

Semula saya kira rasa sakit di kaki akan cepat hilang, ternyata tidak.  Malah menjadi-jadi.  Akhirnya saya berhenti bermain volley dan mencari tukang pijit.  Beruntung, tetangga rumah punya rujukan tukang pijat yang memang sudah terbukti berhasil menolong banyak orang yang cidera otot dan tulang.  Agak jauh rumahnya, sekitar 30 menit perjalanan naik motor.  Dengan ditemani tetangga, saya menuju rumah tukang pijit ini.  Namanya Pak Jumari.

Dengan penuh harapan sepeda motor saya melaju.  Ternyata rumahnya di jalan menuju pemancar TVRI Gunung Periso, Sembung, Batang.  Saya pernah melalui jalan itu bersama teman-teman saat SMP, sekitar tahun 1991.

“Assalamu’alaikum,” ucap saya.
“Waalaikum salam,” jawab seorang perempuan keluar dari dalam rumah.
“Bapak ada?” tanya saya.

Setelah mempersilakan saya duduk, perempuan tadi masuk kembali ke dalam rumah dan sebentar kemudian keluar bersama Pak Jumari.  Wajahnya nampak pucat, dan cara berjalannya terlihat lemas.

“Maaf mas, saya belum bisa mijit, sedang sakit,” ucap Pak Jumari dalam bahasa Jawa halus.
Lantas ia pun bercerita kalau sudah 4 bulan lebih ia sakit.  Dan sudah 3 kali opname di rumah sakit.  Menurut diagnosa dokter, sakit tipes.

Mendapati situasi begitu saya pun segera pamit pulang.  Harapan sembuh atas nyeri yang saya rasakan di kaki sebelah kanan menguap begitu saja.

Hari berganti tanggal.  Keesokan harinya saya pergi lagi ke tukang pijit.  Kali ini ke Kendal. Saya baru ingat sekitar 4 tahun lalu saya pernah mengantar ibu mertua adik saya pijit.  Dengan naik motor saya pun berangkat.  Sampai di rumah simbah yang mijit, perempuan, sepi.  Padahal dulu saat ke sini ramai.  Banyak pasien yang dirawat, bahkan ada yang rawat inap.

Dengan agak ragu saya pun, mengucapkan salam.  Keluar seorang perempuan muda.
“Mau apa mas? tanya dia.
“Mau pijit bu.  Bisa?” jawab saya.
Mendengar jawaban saya, perempuan muda tadi tidak menjawab apa-apa, hanya masuk kembali ke dalam rumah.  Tak lama kemudian dia keluar lagi bersama seorang perempuan yang sudah sangat sepuh, berjalan dengan digandeng-dipapah.  Saya liat wajahnya lebih pucat ketimbang wajah Pak Jumari.  Nada bicaranya juga bergetar.  Kedua matanya juga seperti sudah tidak awas melihat.  Saya kaget sekali karena kondisinya berubah sangat drastis dibandingkan dengan 4 tahun lalu.  Sambil memendam rasa penuh keraguan bahwa si simbah masih mampu memijit saya pun mengatakan maksud kedatangan saya.

Saya diminta berbaring di dipan yang letaknya di sudut ruang tamu sebelah kanan.  Si simbah berjalan di belakang saya.  Begitu saya mau duduk, si simbah jatuh terduduk di lantai.
“Bagaimana sih, kok kamu lepas,” ucap si simbah kesal dengan perempuan muda yang sejak awal memapahnya berjalan.  Sepertinya putrinya.  Akhirnya saya turut membantu simbah berdiri dan mendudukkan di dipan.

“Oalahh mbah-mbah, ini bagaimana sih, kaki saya yang sakit, kok malah simbah yang jatuh karena tidak kuat berdiri dan berjalan.  Perasaan simbah deh yang semestinya dipijit ketimbang saya,” ucap saya membatin sambil menahan tawa.

Saya pun akhir berbaring  di dipan.  Tangan simbah memegang bagian pinggang saya.  Saya rasakan pegangannya sangat lemah.  Tidak diurut tapi hanya diusap-usap.  Dan tidak ada lima menit si simbah berkata ke putrinya:  “Ambilkan air”.  Lantas saya rasakan pinggang dan kaki kanan saya diperciki air.   “Sudah, cukup, selesai!” ucap simbah. “Hah, cukup? Selesai? tanya saya sambil menengok ke arah simbah dengan tatapan tidak percaya.  Belum juga ada lima menit, dan saya merasakan belum diberi tindakan apa-apa sudah selesai.   Tapi baiklah, saya coba berbaik sangka.  Mungkin si simbah sudah sangat canggih sehingga tidak perlu waktu lama untuk menyembuhkan sakit saya.  Meskipun saya rasakan tidak ada perubahan apa-apa.  Kaki saya masih terasa nyeri.  Setelah memberi biaya pemijitan, tepatnya pengusapan yang secara eksplisit dia katakan, saya pamit pulang.  Ia berpesan seminggu lagi diminta datang.  Langsung saja saya menjawab, tidak akan.  Tapi dalam hati, hehehe.

Dengan menahan, maaf, geli saat melihat simbah jatuh dan marah pada putrinya saya pulang.  Saya mampir dulu ke Weleri untuk shlolat zuhur.  Usai sholat, saat motor saya menyusuri gang kecil yang mengubungkan ke jalan raya saya melihat satu plang papan pengumuman tentang ahli urut saraf.  Saya pun bertanya ke mas-mas yang berjualan mie ayam di dekat plang tersebut.

“Mas, bapak yang ahli urut itu praktiknya di mana?”
“Wah, sudah tidak praktik mas.  Sudah lama mati,” jawab si mas enteng.

Hahaha, tawa saya meledak. Sampai si mas-nya bingung.  Langsung saja dua tukang pijit yang sebelumnya saya datangi layaknya sedang berderet di depan mata saya.  Yang satu sakit tapi masih lumayan bisa berjalan, yang satu sakit dan susah jalannya bahkan sampai jatuh, yang dan terakhir mati.   Seketika itu saya jadi merasa sehat.  Kaki kanan saya yang semula nyeri tiba-tiba hilang.  Saya merasakan kondisi saya jauh lebih baik ketimbang ketiga pemijit.  Selain masih bisa berjalan, tidak perlu opname dan tidak mati.  Hehehe.

Sampai di rumah, kisah ini saya ceritakan ke istri, dia ketawa guling-guling tak kuat menahan geli.











Sabtu, 06 Desember 2014

Teman SMA

:: Agus M Irkham

Dulu saya punya teman SMA. Namanya Andi. Orangnya lucu dan ganteng. Banyak disukai teman-teman perempuan. Padahal secara intelektual tidak cerdas. Sering berbuat konyol. Tapi satu hal yang paling konsisten saya lihat darinya adalah orangnya tulus. Di mata dia semua orang baik. Itu sebab mungkin meski tidak pintar secara akademik dia punya banyak teman. Tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.

Lulus SMA dia melanjutkan ke kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang. Usai kuliah bukannya melamar pekerjaan tapi justru membuka usaha parkir sepeda  dan motor. Kebetulan rumahnya persis di pinggir jalan. Tepat berada di perempatan pasar Ketapang, Kabupaten Kendal. Saat yang saya ke Semarang dan melintasi depan rumahnya, sering saya lihat Andi berada di depan rumahnya. Kadang duduk menunggu orang yang akan nitip sepeda, kadang saya lihat dia tengah menuntun motor masuk ke rumahnya. Lain waktu nampak sedang mengeluarkan sepeda dari dalam rumah, sementara ada beberapa orang nampak antri menunggu sepedanya diambil.

Saat awal membuka parkiran sepeda, sekitar tahun 2003. Satu sepeda sehari ongkosnya Rp500. Sedangkan sepeda motor Rp1.000. Saya tidak membayangkan kejenuhan yang ia alami, seharian di rumah dan mengumpulkan keping demi keping. Andi ini salah satu sahabat SMA saya yang sampai sekarang masih dekat. Minimal tiap setahun sekali saya silaturahim ke rumahnya. Saya juga dekat dengan kedua orangtuanya.

Termasuk lebaran kemarin. Saya bersama istri dan kelima anak saya silaturahim ke rumahnya. Kami pun bercerita kesana-kemari. Mengenang kegilaan dan kekonyolan saat SMA dulu. Dari ceritanya saya jadi tahu kalau sekarang aktivitasnya tidak hanya jadi tukang parkir motor tapi juga menjadi guru. Guru SLB! Andi beberapa tahun usai wisuda pernah kuliah Akta 4.

Saat saya tanya dari mana pengetahuan dan keterampilan mengajar di SLB didapat. Ya, belajar. Ikut pelatihan-pelatihan. Jawabnya. Apa yang membuatmu tergerak untuk mengajar di SLB? Tanya saya. Padahal secara ekonomi dia sudah mapan. “Orang kan perlu juga berfikir soal pahala akhirat.” Jawabnya pendek. Saya hanya diam. Ingatan saya berkelibat ke masa-masa 19 tahun lalu. Saat kami duduk di kelas 2 SMA yang sehari-hari selalu diisi dengan guyonan, main basket, ngerjain guru, ngomongin gebetan baru dan warna-warni cerita lainnya yang hampir semua berujung pada simpulan Andi ini konyol.

Tidak pernah serius. Tidak punya prestasi apa-apa. Satu saja yang paling nampak, wajahnya selalu menampakkan kegembiraan, oleh karenanya orang yang mendekatinya tertular turut bahagia. Itu sebab ia dicintai oleh banyak teman.

Tidak berhenti di sini. Kemudian saya diajak ke belakang. Di belakang rumah orangtuanya yang dipakai untuk usaha parkirnya, kini berdiri dua bangunan. Satu bangunan adalah rumah Andi, satunya lagi untuk PAUD. Bersama istrinya dia mengelola PAUD. Bahkan rumahnya pun akhirnya digunakan untuk untuk PAUD. Siswanya ada sekitar 20 anak. Terangnya.

Saat Andi bercerita, wajahnya masih tetap menampakkan rasa bahagia layaknya dulu saat kami masih sama-sama berusia  18 tahun, meski kini ia menjadi Andi yang lain. Bukan Andi yang konyol tapi Andi yang wilayah tanggungjawab sosialnya luas. Andi yang berani masuk ke dalam wilayah ketidakpahaman. Dengan modal yang sama. Rasa bahagia dan prasangka baik.






Ihwal Kematian



:: Agus M Irkham

Setiap sesuatu yang hidup dengan sendirinya mendukung sisi rangkapnya: kematian. Dalam bait-bait yang puitik nan dalam Bimbo mendedahkan gita berjudul Hidup dan Pesan Nabi: “Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Meskipun kesadaran tentang begitu niscaya dan dekatnya kematian, toh dalam keseharian tentang ini sering saya lupakan. Meskipun satu persatu orang-orang yang ada di dekat saya berangkat duluan.  Mulai klausa kemaujudan saya, ibu, kakak tertua, paman, dan masih banyak lagi.

Terbaru,  ada empat kabar kematian yang saya terima. Pertama Profesor Eko Budiardjo. Mantan Rektor undip. Kebetulan saat saya kuliah di Undip, Prof. Eko rektornya. Secara pribadi saya tidak dekat. Namun saat di semester  5-6 saya pernah memoderasi acara yang salah satu pembicaranya adalah beliau. Hangat. Penuh humor sekaligus dalam. Beliau suka berpuisi. Satu lagi saya pernah bertemu sekitar tahun 2011 di Semarang. Saat itu bulan Ramadhan. Dalam acara ketemu pembaca dan penulis Kompas.

Rabu pagi 23 Juli 2014 Saya kaget menerima kabar kepergian beliau, karena kurang dari sebulan sebelumnya, saat saya berada di Jakarta, saya masih membaca profil (wawancara) beliau saat menerima penghargaan sebagai Intelektual Berdedikasi dari Harian Kompas. Prof Eko sudah menulis di Kompas sejak tahun 1975. Sebelum saya lahir. Di tangan beliau persoalan arsitektur dan tata kelola kota menjadi bisa dipahami publik luas secara mudah. Dari pemikiran dan visi beliau pula jurusan Planologi lahir. Prof Eko telah pergi. Namun jejak pemikiran dan kiprahnya masih terus bisa dicecapi generasi-generasi sesudahnya.

Kabar kematian kedua saya terima dari tetangga satu desa, namun beda dusun. Meninggal Rabu siang 23 Juli. Namanya kholidin. Usia sekitar 38-39 tahun.  Kholidin ini ada anak menantu mbah Bejo, karib saya saat ngaji yang kebetulan pada tahun 2010 pernah saya tulis profilnya dan saya ikutkan dalam sebuah lomba berhadiah umroh yang diadakan Mizan.

Tiga hari sebelumnya, ditemani mbah Bejo saya sempat menjenguk Kholidin ini di rumahnya. Menurut cerita dari istrinya, Kholidin yang kebetulan teman satu kelas saya saat SD ini terkena penyakit (gagal) ginjal dan harus cuci darah. Namun pihak keluarga memilih untuk berobat di pengobatan alternatif.  Alasannya karena ketiadaan uang dan ketakutan cuci darah akan berujung kematian.

Melalui mbah Bejo saya sudah menawarkan diri untuk ikut menguruskan administrasi proses cuci darah di RSUD Kabupaten Batang. Namun seberapa dekat saya dengan mbah Bejo, saya tetap jadi orang luar. Tidak bisa memaksa pihak keluarga (istri dan keluarga Kholidin) untuk mau cuci darah. Hanya saja mbah Bejo menjanjikan akan berbicara lagi ke keluarga menantunya. Siapa tahu berubah dan mau cuci darah. Namun rupanya malaikat maut sudah datang duluan menghampiri Kholidin ketimbang mbah Bejo. Rabu 23 Juli 2014 sekitar jam 10 pagi, Kholidin menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kabar kematian yang ketiga terjadi tepat saat hari raya idhul fitri 28 Juli lalu. Namanya Sugiono. Usainya kurang lebih 50 tahun. Saya memanggilnya dengan sapaan mas kaji. Masih terhitung kerabat dekat. Mas kaji ini pemilik Warung Ayam Kampung Bu Bengat, Kutosari, Gringsing, Batang. Kepergiannya begitu cepat. Subuh saat idhul fitri usai sholat subuh, mas kaji muntah-muntah disusul kondisi tubuh yang lemas. Mengetahui hal itu pihak keluarga langsung membawanya ke Rumah Sakit. Sekitar jam 7 pagi, Allah memanggilnya.

Saat prosesi pamitan menjelang disholatkan dan dimakamkam banyak kesaksian dari beberapa tokoh masyarakat dan ulama, bahwa mas kaji ini laksana sosok “usman bin afffan” atau Abdurahman bin auf. Orang kaya yang dermawan. Barangkali sebuah pertanda pula, mas kaji meninggal dalam keadaan baru terlahir, karena  sebelumnya selama sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa.

Kabar kematian yang keempat, terjadi siang tadi. Sabtu 30 Agustus 2014. Tetangga yang sekaligus terhitung masih saudara. Namanya Adib. Usianya sekitar 25 tahun. Baru dua bulan menjadi ayah dari buah pernikahannya. Semula saya tidak percaya kabar kematiannya. Karena beberapa hari sebelumnya saya masih melihatnya dalam keadaan bugar.

Adib meninggal karena tersengat listrik. Belum jelas bagaimana runtutan kejadiannya. Tap dari cerita-cerita yang saya dengar, ia tengah memasang televisi di kamarnya. Dan barangkali saat memasukkan saklar ke sumber arus listrik itulah ia kesetrum. Seketika meninggal.

Kematian prof eko, kholidin, mas kaji, terutama Adib semakin menyadarkan kepada saya bahwa kematian itu misteri. Kapan, di mana, dalam keadaan seperti apa tidak ada yang tahu. Kematian itu begitu dekat. Ada yang sebab usia, sakit, bahkan tanpa sebab. Mati saja. Semudah dan sederhana itu.

Dulu saat mahasiswa saya pernah terobsesi dengan kematian di usia muda. Gegara membaca Catatan Seorang Demonstannya Soe Hok Gie. “Seorang filsuf  Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”
Kini, doa saya sih, Allah memberi umur yang cukup agar bisa terus membersamai kelima anak saya tumbuh, besar,  menjadi manusia dewasa dan bagian dari masyarakat.

Kalaupun tidak, saya berharap kematian saya bukan semata-mata kematian fisik yang tidak mendatangkan perubahan apapun. Tapi kematian yang dapat menjadi pintu awal bagi langkah-langkah perbaikan lingkungan.  Seperti tekat seorang sahabat yang hari-hari terakhir ini tengah memperjuangkan kebenaran di lembaga tempat ia mengabdi, yang dengan itu ia jadi kena sasaran tekanan mental, teror fisik dan ancaman kematian. Dan kesadaran itu ia dapatkan dalam usia yang masih sangat muda: 25 tahun!

Tentang Ibu


:: Agus M Irkham

Saya terlahir dari keluarga besar. Sebagai anak nomor 6 dari 8 bersaudara. Menjadi anak laki-laki terakhir. Dua adiknya saya perempuan. Sejak kecil saya sakit-sakitan. Terutama sakit batu ginjal, yang menyebabkan pada usia 6 tahun (sekitar tahun 1983) saya harus dioperasi di RS. Kariadi Semarang. Oleh kedua orangtua saya, terutama dari ibu, saya mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus. Sepertinya kasih sayang yang diberikan kepada saya berbeda dengan yang diberikan kepada kakak dan adik-adik saya. Bisa jadi karena rasa kasihan akibat sejak kecil sudah sakit, serta opname lama.

Beranjak remaja, kuliah, perhatian yang diberikan oleh ibu kepada saya semakin kuat. Dimanja, begitu kata saudara-saudara saya. Padahal yang saya rasakan sih biasa saja. Mungkin karena saya lebih bisa mengekspresikan bagaimana seorang anak menghormati sekaligus menyayangi ibunya. Mulai dari pembicaraan yang berisi guyonan, pelukan, ciuman, menyandarkan kepala saya di pangkuannya sambil bercerita ke sana-kemari, memberikan oleh-oleh khusus sepulang bepergian, dan lain sebagainya.

Satu lagi, perlakuan ibu ke saya agak berlebih barangkali karena pembawaan saya yang tidak gampang panik. Tetap bisa berfikir jernih. Tenang. Meskipun dalam kondisi yang untuk ukuran ibu dan keluarga besar saya pantas untuk dipanikkan. Berbeda dengan kebanyakan kakak-kakak saya. Oleh ibu saya sering dijadikan tempat curhat, sharing, terutama saat ibu akan memutuskan sesuatu. Pendek kata ikatan kami begitu kuat. Begitu dalam. Hingga sepertinya yang saya rasakan, ketergantungan ibu kepada saya menjadi begitu kuat. Menjadi satu-satu anak yang bisa diandalkan, begitu kira-kita bahasa mudahnya.
 
Saya pun tanpa saya sadari, muncul rasa sombong. Merasa sudah memberikan balasan kasing sayang yang telah diberikan ibu ke ibu pada saya. Merasa paling bisa berempati, dan mengerti sisi psikologi (kejiwaan) ibu. Sampai akhirnya suatu peristiwa penting dan besar terjadi, yang menyebabkan saya harus mengakui kalau perhatian saya belum apa-apa dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan ibu. Hingga saya menyadari sepenuhnya bahwa kasih sayang dan pengorbanan ibu, untuk selamanya tidak akan pernah bisa kita balas. Meskipun hanya untuk setetes akhir susunya.
 
Awal tahun 2005 ibu sakit. Sering mengeluh kalau kepalanya pusing dan sakit. Kesana-kemarin mencari obat, periksa ke dokter, belum juga sembuh. Penyakitnya pun juga tidak kunjung diketahui.

Penyakit ibu tidak kunjung sembuh. Bahkan fungsi tubuhnya mulai melemah. Kaki tidak bisa digunakan untuk berjalan. Tangan juga tidak bisa digerakkan. Akhir kami memutuskan untuk dibawa ke RS. Dr. Suwondo Kendal. Dokter menyarankan untuk dilakukan ct-scan (rongsen pada tengkorak/kepala). Karena fasilitas yang tersedia tidak lengkap, akhir dirujuk ke RS. Islam Sultan Agung Semarang. Sambil menunggu hasil ct-scan, ibu tetap dirawat di RS. Dr. Suwondo. Hingga akhirnya hasil ct-scan dikirim. Ibu dinyatakan terkena tumor otak. Dokter tidak menyebutnya sebagai kanker. Mungkin agar kami, pihak keluarga tidak shock.
 
Kemudian kami membawa ibu ke RSUP. Dr. Kariadi. Ibu menjalani operasi. Sekitar 2-3 minggu di rumah sakit. Dapat dibayangkan betapa kuatir dan shocknya ibu. Seumur-umur belum pernah sakit berat, apalagi masuk rumah sakit, tiba-tiba harus masuk rumah sakit, dan harus operasi! Tugas kami, terutama saya yang harus menenangkan ibu untuk bersikap pasrah. Pelan-pelan ibu mulai tenang, bisa menguasai diri. Akhirnya hari H operasi berlangsung. Dari pagi hingga siang sekitar jam 2. Dengan harap-harap cemas kami menunggu di depan pintu keluar ruang operasi.

Alhamdulilah operasi berjalan dengan baik. Meskipun menimbulkan rasa sakit yang teramat—ibu sering mengaduh dan mengeluhkan kepala yang terasa sakit sekali, dan bawaannya ingin membuat wasiat terakhir saja, layaknya kematian sudah dekat—secara bertahap fungsi tubuh ibu mulai pulih. Tangan bisa digerakkan. Kaki juga bisa digunakan untuk berjalan. Singkat cerita, begitu sudah diizinkan pulang, kami membawa ibu pulang.
 
Meskipun dinyatakan sudah “sembuh” ibu diwajibkan kontrol ke RSUP. Dr. Kariadi seminggu sekali. Sambil mencari obat alternatif non medis, kami tetap mengantar ibu kontrol ke dokter.
 
Sekitar Oktober 2005 kondisi ibu mulai drop lagi. Tangan dan kakinya kembali sulit digerakkan. Akhirnya kami putuskan untuk kembali lagi membawanya ke RSUP.  Dr. Kariadi. Diperiksa ulang. Hingga di suatu pagi saya sendirian dipanggil oleh dokter: Ibu kena kanker otak. Sudah stadium lanjut. Kecil harapannya. Tapi kami akan berusaha.
 
Saat diberitahu, saya tengah berdiri. Dengkul terasa lemes, dan kedua mata saya tiba-tiba gelap. Bumi terasa berputar. Saya terjatuh ke lantai rumah sakit. Beruntung tidak pingsan, sehingga masih bisa menyandarkan bahu di dinding. Mata saya terasa panas. Berkaca-kaca. Dan satu persatu buliran air mata jatuh di pipi saya. Keterangan dokter tersebut sebenarnya sudah saya perkirakan sebelumnya. Tapi saya terus berusaha untuk mengingkarinya. Kenapa? Agar tetap tumbuh semangat mendampingi ibu hingga sembuh.
 
Sekitar 30 menit kemudian, saya sudah mulai bisa menguasai diri. Perlahan saya berdiri. Saya masuk ke sal tempat ibu berbaring. Saya coba untuk tetap tersenyum saat menyapa beliau. Tapi saya nggak kuat. Tangis saya pecah juga. Saya memeluk ibu kuat-kuat sambil meminta maaf jika selama ini ada kesalahan yang saya lakukan. Dan saya yakin itu sangat banyak. Ibu turut menangis, sambil berucap lirih: sama-sama. Lantas ia pun bertanya bagaimana hasil pemeriksaan dokter? Saya terpaksa berbohong. Saya katakan ibu baik-baik saja. Tinggal mengikuti saran dokter, insyAllah pelan-pelan penyakit ibu akan sembuh. Ibu tersenyum. Senyum yang membuat hati saya kian getir.
 
Lantas, oleh dokter ibu harus menjalani kemo terapi. Yaitu memasukkan cairan obat kanker melalui infus. Dilakukan bertahap. Paling kurang ibu harus melakukan kemo 10 kali. Akhirnya, secara bertahap pun (3 hari sekali, seminggu sekali, 10 hari sekali) saya dan ayah mengantar ibu ke RS. Kariadi untuk menjalani kemo terapi. Saat itu fungsi tangan dan kaki ibu masih lumpuh. Praktis saya dan ayah yang harus membantu dan melayani ibu. Mulai dari makan, minum, mandi, pipis, bab, ganti baju, pendek semua aktivitas pribadi ibu, kami yang bantu.
 
Pada awal-awal kemo, ibu masih kuat menjalani. Tapi ketika sudah mulai masuk ke tahap 6 (kalau tidak salah ingat), ibu sudah mulai merasa lelah. Sepertinya mulai menyadari kalau sudah tidak ada harapan lagi bagi kesembuhan penyakitnya. Apalagi jika harus berbicara tentang biaya pengobatan yang memang tidak sedikit. Ibu sering kali merasa bersalah. Pada situasi seperti itu saya bilang ke ibu:
 
“Ibu tidak usah risau, penyakit ibu sejatinya bukan hanya cobaan buat ibu, tapi buat kami anak-anak ibu. Dan soal biaya, insyaAllah itu semua tidak akan hilang. Karena tujuan ibu mengeluarkan uang adalah merawat amanah Allah berupa tubuh (kesehatan), insyaAllah seluruh biaya yang keluar akan dinilai Allah sebagai bentuk ibadah. Dan kelak oleh Allah di akhirat nanti akan diganti dengan berlipat-lipat kebaikan.”
 
Alhamdulilah, setelah sering saya "nasehati" , tetap memberikan harapan sembuh, sekaligus berbaik sangka dengan ketentuan Allah, semangat ibu untuk sembuh muncul kembali. Hanya saja, beliu tetap akan berhenti kemo. Karena selain membuat perut mual, tubuh jadi menghitam, rambutpun mulai rontok. Beliau meminta saya mencarikan obat alternatif lagi.

Saya pun menyanggupinya. Kebetulan di Salatiga ada dokter Yoko namanya. Beliau dikenal ahli kanker. Saya pun datang ke sana. Dengan berbekal nomor telepon yang pernah saya dapat dari sesama keluarga pasien saat dulu ibu dirawat di RS. Dr. Kariadi.  Saya ingat betul saat pertama saya ke tempat praktik dokter Yoko ini, saat itu hujan lebat. Dan karena saya naik bis, dan sudah kadung turun di ujung gang/jalan ke menuju ke rumah dr. Yoko, praktis saya kehujanan. Beruntung di sekitar 100 meter di depan saya ada masjid. Saya pun berteduh di situ. Melakukan sholat tahiyatul masjid. Dan berdoa semoga ikhtiar mencari obat ini diridhoi Allah, dan akan berbuah kesembuhan buat penyakit ibu. Siapa tahu Allah mengabulkan doa saya. Karena waktu hujan adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Batin saya saat itu.
 
 Saat bertemu dokter Yoko, yang sebelumnya harus mengantre sangat lama, saya diminta untuk datang kembali dengan membaca hasil ct-scan akhir. Itu saja. Esoknya saya kembali ke Salatiga. Menunjukkan hasil ct-scan terakhir ibu. Sebentar mengamati, lantas dr. Yoko mengatakan nanti akan segera dibuatkan buat. Ada 20 ampul. Satu hari dua ampul. Per ampul sekitar Rp300ribu (saya lupa persisnya). Saya diminta datang kembali 3 hari lagi.
 
Akhirnya dengan obat dari dr. Yoko itulah ibu kami rawat. Sambil terus memberikan minuman dan makanan suplemen kesehatan produk MLM. Seluruh keluarga bahu membahu merawat ibu. Semua tidak berjalan dengan baik sih. Kadang pas ibu meminta tolong sesuatu—misalnya sekadar membenarkan letak bantal untuk bersandar—kami tidak segera datang, terutama saya, lantaran capai. Fisik dan mental. Kadang saya merasa menjadi manusia yang paling malang, lulus kuliah bukannya melalang buana justru kembali ke rumah dan harus merawat ibu, yang praktis membuat saya menjadi betul-betul manusia rumah. Rasanya ingin marah sendiri. Mendapati situasi seperti itu, saya menjadi kian sadar, bahwa saya merasa telah memberikan perhatian dan kasih sayang secara penuh kepada ibu hanya sebatas klaim saya saja. Allah sudah menguji klaim saya itu. Dan saya gagal.
 
Meskipun terasa sangat lambat, perubahan itu mulai nampak. Wajah ibu kembali cerah. Makan dan minumnya pun mulai banyak. Obat sudah hampir habis. Lantas saya pun kembali ke Salatiga untuk memesan dan membeli obat kembali.
 
Selain berikhtiar secara lahir, tentu saja kami, saya tak hentinya-hentinya usai sholat lima waktu dan malam mendoakan ibu supaya diberi kesembuhan oleh Allah.
 
Manusia merencanakan namun Allah yang menentukan. Kondisi ibu ternyata drop kembali. 20 ampul obat kanker tahap kedua belum juga habis, ibu sudah dipanggil Allah. Di suatu pagi di bulan April 2006 ibu menutup mata untuk selama-lamanya. Dan yang membuat saya hati sesak, justu ibu meninggal saat saya tidak dirumah.  Sehari sebelumnya saya ke Semarang untuk urusan pekerjaan, dan harus menginap, untuk kemudian saya berencana pagi-nya langsung pulang ke rumah. Sepertinya melalui kepergian ibu saya kembali ditegur sama Allah dengan keras tentang klaim telah membalas kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan ibu. Dalam detik-detik paling menentukan hidup seseorang yakni sakaratul maut, saya pun tidak bisa mendampingi dan membimbing ibu—layaknya yang telah dilakukan ayah dan kakak-kakak saya—agar kematiannya khusnul khotimah.
 
***

Atas kematian ibu tersebut, batin saya menggugat: berarti doa saya tidak dikabulkan oleh Allah. Allah ingkar terhadap janjinya sendiri yang katanya akan mengambulkan setiap permintaan hamba—Nya. Padahal saya, kami semua telah berikhtiar habis-habisan demi kesembuhan ibu. Bohong kalau doa itu mengandung keajaiban.
 
Hingga pada akhirnya, saya kembali sadar bahwa tugas makhluk (hamba) memang sekadar berikhtiar dan berdoa (tawakal). Ikhtiar adalah proses yang harus ditempuh yang tidak mewajibkan kita untuk tiba pada yang kita tuju. Karena hasil itu urusan Allah. Dan saya yakin Allah memiliki kuasa dan kehendak yang terbaik untuk tiap-tiap hamba—Nya.  Doa itu sendiri kan ibadah. Meskipun “tidak dikabulkan” kalau berdoanya ikhlas, tetap akan diganjar oleh Allah dengan berlipat-lipat pahala. Dan “tidak dikabulkan” nya doa kita, dalam pandangan lain bisa dimaknai bentuk pengabulan doa, dalam wujudnya yang berbeda. Dan rahasia atau tabir itu biasanya baru akan terkuak setelah kita ikhlas menjalani kenyataan yang disapakan oleh Allah kepada kita.Dan ternyata memang benar adanya. Satu demi-demi satu tabir itu terkuak, setelah saya menjalani dan menerima kenyataan atas kematian ibu dengan ikhlas.<>

Rasa Terima Kasih


:: Agus M Irkham

Syahdan ada seorang pemuda bernama Fadil. Ia memiliki tetangga bernama Pak Ridwan, seorang yang sangat kaya dan baik hati. Bertahun-tahun, ia sering dibantu, meskipun ia tak pernah memintanya. Dari bantuan yang sifatnya materi, maupun berupa nasehat dan motivasi agar hidupnya terus bersemangat dan sabar dalam menghadapi cobaan. Suatu saat Pak Ridwan sakit. Demi mengetahui itu Fadil ingin membantunya dengan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi ternyata anak-anaknya sudah mengantarkannya. Dan membawa ke rumah sakit terbaik di kotanya. Saat ia merekomendasikan nama dokter paling pakar untuk merawat tetangganya itu, oleh anak-anaknya Pak Ridwan sudah dipilihkan dokter paling hebat yang telah memiliki track record internasional yang tak tercela untuk mengobati ayahnya.
 
Niat baik Fadil tertahan, ia mencoba memutar otak, kebaikan apa lagi yang bisa ia berikan pada Pak Ridwan, paling tidak dengan kebaikan itu ia tidak perlu lagi merasa berhutang budi, karena sudah sering ditolong. Aha, doa! Pikirnya. Ia pun memutuskan untuk membesuk Pak Ridwan. Dengan penuh rasa haru ia memasuki sal rawat Pak Ridwan.
 
Hatinya kecut. Apa yang ia dapat? Belum juga ia mengucapkan salam sebagai tanda kedatangannya dan mendekati pak Ridwan, ia sudah mendapati kasur tempat Pak Ridwan tergolek lemah sudah dikelilingi para ustadz dan kiai yang secara kasat mata dilihat dari sisi keilmuan, dan kesolehannya jauh di atas Fadil—itupun dengan catatan Fadil tergolong pemuda yang alim dan soleh. Para ustadz dan kiai itu, satu persatu dengan khusuk mendo’akan Pak Ridwan. Bahkan ada yang sangking terharunya hingga meneteskan air mata.
 
Gagal mendoakan Fadil menawarkan diri untuk tinggal di sal kamar inap menjaga Pak Ridwan. Tawaran itu secara halus ditolak oleh keluarga besar Pak Ridwan. Karena kebetulan hampir semua anak-anak Pak Ridwan telah berkumpul di Rumah Sakit, dan secara bergiliran menjaga ayah mereka.
 
Mendapati kenyataan itu, bagi Fadil, rasa-rasanya sudah tidak ada pintu lagi yang bisa ia masuki untuk ia jadikan sarana membalas kebaikan yang telah diberikan Pak Ridwan. Semua kebutuhan yang diperlukan orang yang ia kagumi itu sudah terpenuhi semua. Dan menyadari ini, hati Fadil kian masgul. Ada rasa bersalah pada dirinya. Ia merasa tidak berguna. Sekaligus ada perasaan pula bahwa, sebagai manusia ia tidak tahu balas budi. Tidak pandai bersyukur.

***
 
Pernahkah kita berada dalam situasi yang Fadil rasakan itu? Merasakan semua pintu kebaikan tertutup untuk sekadar mengurangi sedikit beban hutang budi. Kalau belum pernah, kira-kira apa yang akan kita lakukan jika suatu saat berada dalam situasi yang Fadil alami itu. Hampir dapat dipastikan, situasi batin yang kita alami akan sama persis seperti yang Fadil alami. Kita jadi panik. Serba tidak enak hati. Resah. Bingung. Galau.
 
Nah, itu terhadap makhluk. Bagaimana jika terhadap Allah? Yang telah memberikan segala-galanya buat kita secara gratis. Mulai dari nyawa, piranti indera, tubuh, hingga fasilitas yang terhampar di bumi, laut, dan langit secara melimpah (abundance). Hingga dalam surat ar-rohman berulang kali kita ditanya: Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan!  Sudah begitu, Allah sudah tegaskan tidak membutuhkan balasan apapun dari makhluk-Nya. Menyadari kondisi seperti itu, pernahkah kita merasa panik?! Karena hampir-hampir tidak ada celah untuk mengekspresikan rasa terima kasih kita kepada Allah.
 
Yang paling mudah tentu saja berucap alhamdulilah. Padahal  kata itu sejatinya tidak memerlukan sebab. Apalagi dilekatkan pada perolehan manusia. Kemalangan atau keberuntungan yang menerpa manusia, tidak mampu membatalkan atau meneguhkannya. Tetap saja segala puji itu milik Allah Swt. Pada titik ini saya jadi semakin paham kenapa seseorang ketika di mata awam tengah mengalami kemalangan, yang terucap dari mulutnya tetap saja kata alhamdulilah. Karena sepenuhnya ia tahu, kemalangan adalah satu kenyataan belaka. Dan alhamdulilah adalah kemestian yang lain. Persis seperti yang sudah ditulis Pak Muh di buku Lantai-Lantai Kota pada halaman 60.
 
Pada akhirnya, diam—diri yang telanjang, tidak ada tabir di hadapan Allah—akan menjadi puncak rasa syukur paling tinggi. Keberadaan diri kita yang polos—tanpa ada label dan embel-embel sosial, gelar akademik apapun— semata-mata hamba Allah adalah bentuk rasa syukur itu sendiri.  Satu-satunya celah yang dapat kita masuki untuk “membalas” kebaikan Allah adalah senantiasa berusaha menguak rahasia perintah Allah di balik setiap amanahnya. Mencari dan menemukan rahasia Amar Allah di balik setiap fasilitas-Nya. Wa’allahu ‘alam.