Selasa, 13 Januari 2015

Ketawakalan

:: Agus M Irkham

Ketika para tamu sedang berkumpul di ruang tunggu, seorang ahli hikmah mengajukan pertanyaan secara massal: “Berapa persen perkiraan kalian tentang rencana, latihan, rekayasa, dan usaha kalian akan membawa hasil?”

Jawab mereka satu persatu:
Petani : 75 persen pak.
Pedagang : 70 persen pak.
Pengrajin : 60 persen pak.
Seniman : 15 persen pak.
Olahragawan : 80 persen pak.
Rentenir : 90 persen pak.
Sopir : 40 persen pak.
Kiai dan Pendeta : 100 persen pak.

Kemudian Kiai ganti tanya kepadanya: “Lalu Anda sendiri berapa persen?”
“Saya sih cuma nol persen.  Selebihnya karunia Allah semata-mata,” jawab ahli hikmah.

Cerita saya saya kutip dari buku Langit-Langit Desa anggitan (Alm) Muhammad Zuhri di atas buat saya memiliki makna penting.  Dalam tiap keberhasilan sering kali kita—kalau boleh mengkit akan saya—merasa telah memiliki kontribusi atau sumbangan yang besar. Padahal kita hanya sekadar memanfaatkan apa-apa yang sudah terhidang sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan Allah.  Semua sumber daya dan piranti yang kita gunakan untuk mewujudkan keberhasilan itu sudah diberi Allah secara gratis.

Tangan, siapa yang menumbuhkan tangan hingga panjang, besar, dan kuat untuk menggenggam.  Kaki, siapa yang menumbuhkan kaki hingga bisa kuat berpijak di atas bumi.  Otak, siapa yang menganugrahkan otak hingga bisa digunakan untuk berfikir dan memberikan pertimbangan-pertimbangan.  Mata, siapa yang menciptakan mata dan melekatinya dengan kemampuan untuk merasakan keindahan pandangan.

Nyawa—sumber dari segenap eksistensi kita—siapa yang sebenar-benarnya memiliki nyawa?  Sungguh, untuk sesuatu yang kita akui sangat berharga itu saja kita tak kuasa sedikitpun atasnya. Kita tidak tahu, sekalipun nol koma sejuta nol persen, apakah nanti atau esok nyawa itu akan masih tetap menyatu bersama jasad kita, atau sebaliknya.  Menyadari itu semua, tak layak rasanya hidup kita diliputi kegamangan dan kesedihan akan masa depan. Kekuatiran akan kegagalan-kegagalan yang akan kita petik atas setiap ikhtiar kita.

Jadi, hakikat tiap keberhasilan dan kesuksesan yang kita raih seluruhnya karena Allah.  Hada min fadli robbi. Semua ini, sepenuhnya berasal dari fadilah Allah. Sumbangan kita nol persen.  Andil kita nol besar.  Keberhasilan, kesuksesan, sebagaimana pula kegagalan sematamata wujud dari kuasa (kodrat) dan kehendak (irodah) Tuhan.

Itulah sejatinya sikap tawakal. Dalam kondisi tersebut saat berhasil, tidak akan membuat kita bertepuk dada.  Jika gagal, tidak akan membuat kita meratapi nasib. Karena hakikat keduanya sama: dari sisi Allah jua.

Betul apa yang dikatakan seorang ahli hikmah, bahwa tiap kenyataan yang kita temui sejatinya merupakan “wajah Allah”.  Maka kita tidak boleh berwaksangka terhadap kenyataan tersebut.  Karena bisa jadi, melalui kenyataan yang disapakan kita tersebut, memberikan jalan bagi kita untuk mendapatkan kenyataan baru yang lebih membahagiakan dan memenuhi harapan kita.●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar