:: Agus M Irkham
Selain olahraga basket, saya sangat menyukai volley. Dulu, di awal-awal tahun 2000 hampir setiap sore saya bermain volley. Namun setelah menikah tahun 2004 hingga sekarang saya sudah tidak pernah bermain volley. Satu-satunya olahraga yang masih rutin saya lakukan adalah renang.
Hanya saja mulai oktober 2014 lalu, saya kembali bermain volley. Mulanya saya sedang jalan-jalan dengan anak-anak keliling kampung, saat melewati lapangan volley desa, ada banyak anak-anak muda sedang berlatih bola volley. Mengetahui itu, ingatan saya langsung tertuju pada keasyikan saat bermain volley sekitar 10 tahun lalu. Lantas, keesokan sorenya saya pun langsung berlatih bermain volley kembali. Saat main, saya lebih senang bola-bola pendek atau quick ketimbang semi apalagi long.
4-5 kali latihan, badan terasa sakit semua. Mungkin karena otot yang menegang, maklum saja sudah lama sekali saya tidak volley. Hingga pada suatu ketika saat saya melakukan smash, bahu dan pinggang saya terasa nyeri sekali. Dan akibatnya kaki kanan saya terasa sakit. Terutama untuk duduk. Bisa jadi karena saya kurang pemanasan, akibatnya cidera otot. Tapi bisa jadi sepertinya lebih ke faktur u saja. Alias usia saya yang sudah tidak muda lag. Meskipun belum bisa disebut tua juga sih. #halah!
Semula saya kira rasa sakit di kaki akan cepat hilang, ternyata tidak. Malah menjadi-jadi. Akhirnya saya berhenti bermain volley dan mencari tukang pijit. Beruntung, tetangga rumah punya rujukan tukang pijat yang memang sudah terbukti berhasil menolong banyak orang yang cidera otot dan tulang. Agak jauh rumahnya, sekitar 30 menit perjalanan naik motor. Dengan ditemani tetangga, saya menuju rumah tukang pijit ini. Namanya Pak Jumari.
Dengan penuh harapan sepeda motor saya melaju. Ternyata rumahnya di jalan menuju pemancar TVRI Gunung Periso, Sembung, Batang. Saya pernah melalui jalan itu bersama teman-teman saat SMP, sekitar tahun 1991.
“Assalamu’alaikum,” ucap saya.
“Waalaikum salam,” jawab seorang perempuan keluar dari dalam rumah.
“Bapak ada?” tanya saya.
Setelah mempersilakan saya duduk, perempuan tadi masuk kembali ke dalam rumah dan sebentar kemudian keluar bersama Pak Jumari. Wajahnya nampak pucat, dan cara berjalannya terlihat lemas.
“Maaf mas, saya belum bisa mijit, sedang sakit,” ucap Pak Jumari dalam bahasa Jawa halus.
Lantas ia pun bercerita kalau sudah 4 bulan lebih ia sakit. Dan sudah 3 kali opname di rumah sakit. Menurut diagnosa dokter, sakit tipes.
Mendapati situasi begitu saya pun segera pamit pulang. Harapan sembuh atas nyeri yang saya rasakan di kaki sebelah kanan menguap begitu saja.
Hari berganti tanggal. Keesokan harinya saya pergi lagi ke tukang pijit. Kali ini ke Kendal. Saya baru ingat sekitar 4 tahun lalu saya pernah mengantar ibu mertua adik saya pijit. Dengan naik motor saya pun berangkat. Sampai di rumah simbah yang mijit, perempuan, sepi. Padahal dulu saat ke sini ramai. Banyak pasien yang dirawat, bahkan ada yang rawat inap.
Dengan agak ragu saya pun, mengucapkan salam. Keluar seorang perempuan muda.
“Mau apa mas? tanya dia.
“Mau pijit bu. Bisa?” jawab saya.
Mendengar jawaban saya, perempuan muda tadi tidak menjawab apa-apa, hanya masuk kembali ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia keluar lagi bersama seorang perempuan yang sudah sangat sepuh, berjalan dengan digandeng-dipapah. Saya liat wajahnya lebih pucat ketimbang wajah Pak Jumari. Nada bicaranya juga bergetar. Kedua matanya juga seperti sudah tidak awas melihat. Saya kaget sekali karena kondisinya berubah sangat drastis dibandingkan dengan 4 tahun lalu. Sambil memendam rasa penuh keraguan bahwa si simbah masih mampu memijit saya pun mengatakan maksud kedatangan saya.
Saya diminta berbaring di dipan yang letaknya di sudut ruang tamu sebelah kanan. Si simbah berjalan di belakang saya. Begitu saya mau duduk, si simbah jatuh terduduk di lantai.
“Bagaimana sih, kok kamu lepas,” ucap si simbah kesal dengan perempuan muda yang sejak awal memapahnya berjalan. Sepertinya putrinya. Akhirnya saya turut membantu simbah berdiri dan mendudukkan di dipan.
“Oalahh mbah-mbah, ini bagaimana sih, kaki saya yang sakit, kok malah simbah yang jatuh karena tidak kuat berdiri dan berjalan. Perasaan simbah deh yang semestinya dipijit ketimbang saya,” ucap saya membatin sambil menahan tawa.
Saya pun akhir berbaring di dipan. Tangan simbah memegang bagian pinggang saya. Saya rasakan pegangannya sangat lemah. Tidak diurut tapi hanya diusap-usap. Dan tidak ada lima menit si simbah berkata ke putrinya: “Ambilkan air”. Lantas saya rasakan pinggang dan kaki kanan saya diperciki air. “Sudah, cukup, selesai!” ucap simbah. “Hah, cukup? Selesai? tanya saya sambil menengok ke arah simbah dengan tatapan tidak percaya. Belum juga ada lima menit, dan saya merasakan belum diberi tindakan apa-apa sudah selesai. Tapi baiklah, saya coba berbaik sangka. Mungkin si simbah sudah sangat canggih sehingga tidak perlu waktu lama untuk menyembuhkan sakit saya. Meskipun saya rasakan tidak ada perubahan apa-apa. Kaki saya masih terasa nyeri. Setelah memberi biaya pemijitan, tepatnya pengusapan yang secara eksplisit dia katakan, saya pamit pulang. Ia berpesan seminggu lagi diminta datang. Langsung saja saya menjawab, tidak akan. Tapi dalam hati, hehehe.
Dengan menahan, maaf, geli saat melihat simbah jatuh dan marah pada putrinya saya pulang. Saya mampir dulu ke Weleri untuk shlolat zuhur. Usai sholat, saat motor saya menyusuri gang kecil yang mengubungkan ke jalan raya saya melihat satu plang papan pengumuman tentang ahli urut saraf. Saya pun bertanya ke mas-mas yang berjualan mie ayam di dekat plang tersebut.
“Mas, bapak yang ahli urut itu praktiknya di mana?”
“Wah, sudah tidak praktik mas. Sudah lama mati,” jawab si mas enteng.
Hahaha, tawa saya meledak. Sampai si mas-nya bingung. Langsung saja dua tukang pijit yang sebelumnya saya datangi layaknya sedang berderet di depan mata saya. Yang satu sakit tapi masih lumayan bisa berjalan, yang satu sakit dan susah jalannya bahkan sampai jatuh, yang dan terakhir mati. Seketika itu saya jadi merasa sehat. Kaki kanan saya yang semula nyeri tiba-tiba hilang. Saya merasakan kondisi saya jauh lebih baik ketimbang ketiga pemijit. Selain masih bisa berjalan, tidak perlu opname dan tidak mati. Hehehe.
Sampai di rumah, kisah ini saya ceritakan ke istri, dia ketawa guling-guling tak kuat menahan geli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar