:: Agus M Irkham
Dulu saya punya teman SMA. Namanya Andi. Orangnya lucu dan ganteng. Banyak disukai teman-teman perempuan. Padahal secara intelektual tidak cerdas. Sering berbuat konyol. Tapi satu hal yang paling konsisten saya lihat darinya adalah orangnya tulus. Di mata dia semua orang baik. Itu sebab mungkin meski tidak pintar secara akademik dia punya banyak teman. Tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.
Lulus SMA dia melanjutkan ke kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang. Usai kuliah bukannya melamar pekerjaan tapi justru membuka usaha parkir sepeda dan motor. Kebetulan rumahnya persis di pinggir jalan. Tepat berada di perempatan pasar Ketapang, Kabupaten Kendal. Saat yang saya ke Semarang dan melintasi depan rumahnya, sering saya lihat Andi berada di depan rumahnya. Kadang duduk menunggu orang yang akan nitip sepeda, kadang saya lihat dia tengah menuntun motor masuk ke rumahnya. Lain waktu nampak sedang mengeluarkan sepeda dari dalam rumah, sementara ada beberapa orang nampak antri menunggu sepedanya diambil.
Saat awal membuka parkiran sepeda, sekitar tahun 2003. Satu sepeda sehari ongkosnya Rp500. Sedangkan sepeda motor Rp1.000. Saya tidak membayangkan kejenuhan yang ia alami, seharian di rumah dan mengumpulkan keping demi keping. Andi ini salah satu sahabat SMA saya yang sampai sekarang masih dekat. Minimal tiap setahun sekali saya silaturahim ke rumahnya. Saya juga dekat dengan kedua orangtuanya.
Termasuk lebaran kemarin. Saya bersama istri dan kelima anak saya silaturahim ke rumahnya. Kami pun bercerita kesana-kemari. Mengenang kegilaan dan kekonyolan saat SMA dulu. Dari ceritanya saya jadi tahu kalau sekarang aktivitasnya tidak hanya jadi tukang parkir motor tapi juga menjadi guru. Guru SLB! Andi beberapa tahun usai wisuda pernah kuliah Akta 4.
Saat saya tanya dari mana pengetahuan dan keterampilan mengajar di SLB didapat. Ya, belajar. Ikut pelatihan-pelatihan. Jawabnya. Apa yang membuatmu tergerak untuk mengajar di SLB? Tanya saya. Padahal secara ekonomi dia sudah mapan. “Orang kan perlu juga berfikir soal pahala akhirat.” Jawabnya pendek. Saya hanya diam. Ingatan saya berkelibat ke masa-masa 19 tahun lalu. Saat kami duduk di kelas 2 SMA yang sehari-hari selalu diisi dengan guyonan, main basket, ngerjain guru, ngomongin gebetan baru dan warna-warni cerita lainnya yang hampir semua berujung pada simpulan Andi ini konyol.
Tidak pernah serius. Tidak punya prestasi apa-apa. Satu saja yang paling nampak, wajahnya selalu menampakkan kegembiraan, oleh karenanya orang yang mendekatinya tertular turut bahagia. Itu sebab ia dicintai oleh banyak teman.
Tidak berhenti di sini. Kemudian saya diajak ke belakang. Di belakang rumah orangtuanya yang dipakai untuk usaha parkirnya, kini berdiri dua bangunan. Satu bangunan adalah rumah Andi, satunya lagi untuk PAUD. Bersama istrinya dia mengelola PAUD. Bahkan rumahnya pun akhirnya digunakan untuk untuk PAUD. Siswanya ada sekitar 20 anak. Terangnya.
Saat Andi bercerita, wajahnya masih tetap menampakkan rasa bahagia layaknya dulu saat kami masih sama-sama berusia 18 tahun, meski kini ia menjadi Andi yang lain. Bukan Andi yang konyol tapi Andi yang wilayah tanggungjawab sosialnya luas. Andi yang berani masuk ke dalam wilayah ketidakpahaman. Dengan modal yang sama. Rasa bahagia dan prasangka baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar