Sabtu, 06 Desember 2014

Rasa Terima Kasih


:: Agus M Irkham

Syahdan ada seorang pemuda bernama Fadil. Ia memiliki tetangga bernama Pak Ridwan, seorang yang sangat kaya dan baik hati. Bertahun-tahun, ia sering dibantu, meskipun ia tak pernah memintanya. Dari bantuan yang sifatnya materi, maupun berupa nasehat dan motivasi agar hidupnya terus bersemangat dan sabar dalam menghadapi cobaan. Suatu saat Pak Ridwan sakit. Demi mengetahui itu Fadil ingin membantunya dengan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi ternyata anak-anaknya sudah mengantarkannya. Dan membawa ke rumah sakit terbaik di kotanya. Saat ia merekomendasikan nama dokter paling pakar untuk merawat tetangganya itu, oleh anak-anaknya Pak Ridwan sudah dipilihkan dokter paling hebat yang telah memiliki track record internasional yang tak tercela untuk mengobati ayahnya.
 
Niat baik Fadil tertahan, ia mencoba memutar otak, kebaikan apa lagi yang bisa ia berikan pada Pak Ridwan, paling tidak dengan kebaikan itu ia tidak perlu lagi merasa berhutang budi, karena sudah sering ditolong. Aha, doa! Pikirnya. Ia pun memutuskan untuk membesuk Pak Ridwan. Dengan penuh rasa haru ia memasuki sal rawat Pak Ridwan.
 
Hatinya kecut. Apa yang ia dapat? Belum juga ia mengucapkan salam sebagai tanda kedatangannya dan mendekati pak Ridwan, ia sudah mendapati kasur tempat Pak Ridwan tergolek lemah sudah dikelilingi para ustadz dan kiai yang secara kasat mata dilihat dari sisi keilmuan, dan kesolehannya jauh di atas Fadil—itupun dengan catatan Fadil tergolong pemuda yang alim dan soleh. Para ustadz dan kiai itu, satu persatu dengan khusuk mendo’akan Pak Ridwan. Bahkan ada yang sangking terharunya hingga meneteskan air mata.
 
Gagal mendoakan Fadil menawarkan diri untuk tinggal di sal kamar inap menjaga Pak Ridwan. Tawaran itu secara halus ditolak oleh keluarga besar Pak Ridwan. Karena kebetulan hampir semua anak-anak Pak Ridwan telah berkumpul di Rumah Sakit, dan secara bergiliran menjaga ayah mereka.
 
Mendapati kenyataan itu, bagi Fadil, rasa-rasanya sudah tidak ada pintu lagi yang bisa ia masuki untuk ia jadikan sarana membalas kebaikan yang telah diberikan Pak Ridwan. Semua kebutuhan yang diperlukan orang yang ia kagumi itu sudah terpenuhi semua. Dan menyadari ini, hati Fadil kian masgul. Ada rasa bersalah pada dirinya. Ia merasa tidak berguna. Sekaligus ada perasaan pula bahwa, sebagai manusia ia tidak tahu balas budi. Tidak pandai bersyukur.

***
 
Pernahkah kita berada dalam situasi yang Fadil rasakan itu? Merasakan semua pintu kebaikan tertutup untuk sekadar mengurangi sedikit beban hutang budi. Kalau belum pernah, kira-kira apa yang akan kita lakukan jika suatu saat berada dalam situasi yang Fadil alami itu. Hampir dapat dipastikan, situasi batin yang kita alami akan sama persis seperti yang Fadil alami. Kita jadi panik. Serba tidak enak hati. Resah. Bingung. Galau.
 
Nah, itu terhadap makhluk. Bagaimana jika terhadap Allah? Yang telah memberikan segala-galanya buat kita secara gratis. Mulai dari nyawa, piranti indera, tubuh, hingga fasilitas yang terhampar di bumi, laut, dan langit secara melimpah (abundance). Hingga dalam surat ar-rohman berulang kali kita ditanya: Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan!  Sudah begitu, Allah sudah tegaskan tidak membutuhkan balasan apapun dari makhluk-Nya. Menyadari kondisi seperti itu, pernahkah kita merasa panik?! Karena hampir-hampir tidak ada celah untuk mengekspresikan rasa terima kasih kita kepada Allah.
 
Yang paling mudah tentu saja berucap alhamdulilah. Padahal  kata itu sejatinya tidak memerlukan sebab. Apalagi dilekatkan pada perolehan manusia. Kemalangan atau keberuntungan yang menerpa manusia, tidak mampu membatalkan atau meneguhkannya. Tetap saja segala puji itu milik Allah Swt. Pada titik ini saya jadi semakin paham kenapa seseorang ketika di mata awam tengah mengalami kemalangan, yang terucap dari mulutnya tetap saja kata alhamdulilah. Karena sepenuhnya ia tahu, kemalangan adalah satu kenyataan belaka. Dan alhamdulilah adalah kemestian yang lain. Persis seperti yang sudah ditulis Pak Muh di buku Lantai-Lantai Kota pada halaman 60.
 
Pada akhirnya, diam—diri yang telanjang, tidak ada tabir di hadapan Allah—akan menjadi puncak rasa syukur paling tinggi. Keberadaan diri kita yang polos—tanpa ada label dan embel-embel sosial, gelar akademik apapun— semata-mata hamba Allah adalah bentuk rasa syukur itu sendiri.  Satu-satunya celah yang dapat kita masuki untuk “membalas” kebaikan Allah adalah senantiasa berusaha menguak rahasia perintah Allah di balik setiap amanahnya. Mencari dan menemukan rahasia Amar Allah di balik setiap fasilitas-Nya. Wa’allahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar