Sabtu, 06 Desember 2014

Tentang Ibu


:: Agus M Irkham

Saya terlahir dari keluarga besar. Sebagai anak nomor 6 dari 8 bersaudara. Menjadi anak laki-laki terakhir. Dua adiknya saya perempuan. Sejak kecil saya sakit-sakitan. Terutama sakit batu ginjal, yang menyebabkan pada usia 6 tahun (sekitar tahun 1983) saya harus dioperasi di RS. Kariadi Semarang. Oleh kedua orangtua saya, terutama dari ibu, saya mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus. Sepertinya kasih sayang yang diberikan kepada saya berbeda dengan yang diberikan kepada kakak dan adik-adik saya. Bisa jadi karena rasa kasihan akibat sejak kecil sudah sakit, serta opname lama.

Beranjak remaja, kuliah, perhatian yang diberikan oleh ibu kepada saya semakin kuat. Dimanja, begitu kata saudara-saudara saya. Padahal yang saya rasakan sih biasa saja. Mungkin karena saya lebih bisa mengekspresikan bagaimana seorang anak menghormati sekaligus menyayangi ibunya. Mulai dari pembicaraan yang berisi guyonan, pelukan, ciuman, menyandarkan kepala saya di pangkuannya sambil bercerita ke sana-kemari, memberikan oleh-oleh khusus sepulang bepergian, dan lain sebagainya.

Satu lagi, perlakuan ibu ke saya agak berlebih barangkali karena pembawaan saya yang tidak gampang panik. Tetap bisa berfikir jernih. Tenang. Meskipun dalam kondisi yang untuk ukuran ibu dan keluarga besar saya pantas untuk dipanikkan. Berbeda dengan kebanyakan kakak-kakak saya. Oleh ibu saya sering dijadikan tempat curhat, sharing, terutama saat ibu akan memutuskan sesuatu. Pendek kata ikatan kami begitu kuat. Begitu dalam. Hingga sepertinya yang saya rasakan, ketergantungan ibu kepada saya menjadi begitu kuat. Menjadi satu-satu anak yang bisa diandalkan, begitu kira-kita bahasa mudahnya.
 
Saya pun tanpa saya sadari, muncul rasa sombong. Merasa sudah memberikan balasan kasing sayang yang telah diberikan ibu ke ibu pada saya. Merasa paling bisa berempati, dan mengerti sisi psikologi (kejiwaan) ibu. Sampai akhirnya suatu peristiwa penting dan besar terjadi, yang menyebabkan saya harus mengakui kalau perhatian saya belum apa-apa dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan ibu. Hingga saya menyadari sepenuhnya bahwa kasih sayang dan pengorbanan ibu, untuk selamanya tidak akan pernah bisa kita balas. Meskipun hanya untuk setetes akhir susunya.
 
Awal tahun 2005 ibu sakit. Sering mengeluh kalau kepalanya pusing dan sakit. Kesana-kemarin mencari obat, periksa ke dokter, belum juga sembuh. Penyakitnya pun juga tidak kunjung diketahui.

Penyakit ibu tidak kunjung sembuh. Bahkan fungsi tubuhnya mulai melemah. Kaki tidak bisa digunakan untuk berjalan. Tangan juga tidak bisa digerakkan. Akhir kami memutuskan untuk dibawa ke RS. Dr. Suwondo Kendal. Dokter menyarankan untuk dilakukan ct-scan (rongsen pada tengkorak/kepala). Karena fasilitas yang tersedia tidak lengkap, akhir dirujuk ke RS. Islam Sultan Agung Semarang. Sambil menunggu hasil ct-scan, ibu tetap dirawat di RS. Dr. Suwondo. Hingga akhirnya hasil ct-scan dikirim. Ibu dinyatakan terkena tumor otak. Dokter tidak menyebutnya sebagai kanker. Mungkin agar kami, pihak keluarga tidak shock.
 
Kemudian kami membawa ibu ke RSUP. Dr. Kariadi. Ibu menjalani operasi. Sekitar 2-3 minggu di rumah sakit. Dapat dibayangkan betapa kuatir dan shocknya ibu. Seumur-umur belum pernah sakit berat, apalagi masuk rumah sakit, tiba-tiba harus masuk rumah sakit, dan harus operasi! Tugas kami, terutama saya yang harus menenangkan ibu untuk bersikap pasrah. Pelan-pelan ibu mulai tenang, bisa menguasai diri. Akhirnya hari H operasi berlangsung. Dari pagi hingga siang sekitar jam 2. Dengan harap-harap cemas kami menunggu di depan pintu keluar ruang operasi.

Alhamdulilah operasi berjalan dengan baik. Meskipun menimbulkan rasa sakit yang teramat—ibu sering mengaduh dan mengeluhkan kepala yang terasa sakit sekali, dan bawaannya ingin membuat wasiat terakhir saja, layaknya kematian sudah dekat—secara bertahap fungsi tubuh ibu mulai pulih. Tangan bisa digerakkan. Kaki juga bisa digunakan untuk berjalan. Singkat cerita, begitu sudah diizinkan pulang, kami membawa ibu pulang.
 
Meskipun dinyatakan sudah “sembuh” ibu diwajibkan kontrol ke RSUP. Dr. Kariadi seminggu sekali. Sambil mencari obat alternatif non medis, kami tetap mengantar ibu kontrol ke dokter.
 
Sekitar Oktober 2005 kondisi ibu mulai drop lagi. Tangan dan kakinya kembali sulit digerakkan. Akhirnya kami putuskan untuk kembali lagi membawanya ke RSUP.  Dr. Kariadi. Diperiksa ulang. Hingga di suatu pagi saya sendirian dipanggil oleh dokter: Ibu kena kanker otak. Sudah stadium lanjut. Kecil harapannya. Tapi kami akan berusaha.
 
Saat diberitahu, saya tengah berdiri. Dengkul terasa lemes, dan kedua mata saya tiba-tiba gelap. Bumi terasa berputar. Saya terjatuh ke lantai rumah sakit. Beruntung tidak pingsan, sehingga masih bisa menyandarkan bahu di dinding. Mata saya terasa panas. Berkaca-kaca. Dan satu persatu buliran air mata jatuh di pipi saya. Keterangan dokter tersebut sebenarnya sudah saya perkirakan sebelumnya. Tapi saya terus berusaha untuk mengingkarinya. Kenapa? Agar tetap tumbuh semangat mendampingi ibu hingga sembuh.
 
Sekitar 30 menit kemudian, saya sudah mulai bisa menguasai diri. Perlahan saya berdiri. Saya masuk ke sal tempat ibu berbaring. Saya coba untuk tetap tersenyum saat menyapa beliau. Tapi saya nggak kuat. Tangis saya pecah juga. Saya memeluk ibu kuat-kuat sambil meminta maaf jika selama ini ada kesalahan yang saya lakukan. Dan saya yakin itu sangat banyak. Ibu turut menangis, sambil berucap lirih: sama-sama. Lantas ia pun bertanya bagaimana hasil pemeriksaan dokter? Saya terpaksa berbohong. Saya katakan ibu baik-baik saja. Tinggal mengikuti saran dokter, insyAllah pelan-pelan penyakit ibu akan sembuh. Ibu tersenyum. Senyum yang membuat hati saya kian getir.
 
Lantas, oleh dokter ibu harus menjalani kemo terapi. Yaitu memasukkan cairan obat kanker melalui infus. Dilakukan bertahap. Paling kurang ibu harus melakukan kemo 10 kali. Akhirnya, secara bertahap pun (3 hari sekali, seminggu sekali, 10 hari sekali) saya dan ayah mengantar ibu ke RS. Kariadi untuk menjalani kemo terapi. Saat itu fungsi tangan dan kaki ibu masih lumpuh. Praktis saya dan ayah yang harus membantu dan melayani ibu. Mulai dari makan, minum, mandi, pipis, bab, ganti baju, pendek semua aktivitas pribadi ibu, kami yang bantu.
 
Pada awal-awal kemo, ibu masih kuat menjalani. Tapi ketika sudah mulai masuk ke tahap 6 (kalau tidak salah ingat), ibu sudah mulai merasa lelah. Sepertinya mulai menyadari kalau sudah tidak ada harapan lagi bagi kesembuhan penyakitnya. Apalagi jika harus berbicara tentang biaya pengobatan yang memang tidak sedikit. Ibu sering kali merasa bersalah. Pada situasi seperti itu saya bilang ke ibu:
 
“Ibu tidak usah risau, penyakit ibu sejatinya bukan hanya cobaan buat ibu, tapi buat kami anak-anak ibu. Dan soal biaya, insyaAllah itu semua tidak akan hilang. Karena tujuan ibu mengeluarkan uang adalah merawat amanah Allah berupa tubuh (kesehatan), insyaAllah seluruh biaya yang keluar akan dinilai Allah sebagai bentuk ibadah. Dan kelak oleh Allah di akhirat nanti akan diganti dengan berlipat-lipat kebaikan.”
 
Alhamdulilah, setelah sering saya "nasehati" , tetap memberikan harapan sembuh, sekaligus berbaik sangka dengan ketentuan Allah, semangat ibu untuk sembuh muncul kembali. Hanya saja, beliu tetap akan berhenti kemo. Karena selain membuat perut mual, tubuh jadi menghitam, rambutpun mulai rontok. Beliau meminta saya mencarikan obat alternatif lagi.

Saya pun menyanggupinya. Kebetulan di Salatiga ada dokter Yoko namanya. Beliau dikenal ahli kanker. Saya pun datang ke sana. Dengan berbekal nomor telepon yang pernah saya dapat dari sesama keluarga pasien saat dulu ibu dirawat di RS. Dr. Kariadi.  Saya ingat betul saat pertama saya ke tempat praktik dokter Yoko ini, saat itu hujan lebat. Dan karena saya naik bis, dan sudah kadung turun di ujung gang/jalan ke menuju ke rumah dr. Yoko, praktis saya kehujanan. Beruntung di sekitar 100 meter di depan saya ada masjid. Saya pun berteduh di situ. Melakukan sholat tahiyatul masjid. Dan berdoa semoga ikhtiar mencari obat ini diridhoi Allah, dan akan berbuah kesembuhan buat penyakit ibu. Siapa tahu Allah mengabulkan doa saya. Karena waktu hujan adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Batin saya saat itu.
 
 Saat bertemu dokter Yoko, yang sebelumnya harus mengantre sangat lama, saya diminta untuk datang kembali dengan membaca hasil ct-scan akhir. Itu saja. Esoknya saya kembali ke Salatiga. Menunjukkan hasil ct-scan terakhir ibu. Sebentar mengamati, lantas dr. Yoko mengatakan nanti akan segera dibuatkan buat. Ada 20 ampul. Satu hari dua ampul. Per ampul sekitar Rp300ribu (saya lupa persisnya). Saya diminta datang kembali 3 hari lagi.
 
Akhirnya dengan obat dari dr. Yoko itulah ibu kami rawat. Sambil terus memberikan minuman dan makanan suplemen kesehatan produk MLM. Seluruh keluarga bahu membahu merawat ibu. Semua tidak berjalan dengan baik sih. Kadang pas ibu meminta tolong sesuatu—misalnya sekadar membenarkan letak bantal untuk bersandar—kami tidak segera datang, terutama saya, lantaran capai. Fisik dan mental. Kadang saya merasa menjadi manusia yang paling malang, lulus kuliah bukannya melalang buana justru kembali ke rumah dan harus merawat ibu, yang praktis membuat saya menjadi betul-betul manusia rumah. Rasanya ingin marah sendiri. Mendapati situasi seperti itu, saya menjadi kian sadar, bahwa saya merasa telah memberikan perhatian dan kasih sayang secara penuh kepada ibu hanya sebatas klaim saya saja. Allah sudah menguji klaim saya itu. Dan saya gagal.
 
Meskipun terasa sangat lambat, perubahan itu mulai nampak. Wajah ibu kembali cerah. Makan dan minumnya pun mulai banyak. Obat sudah hampir habis. Lantas saya pun kembali ke Salatiga untuk memesan dan membeli obat kembali.
 
Selain berikhtiar secara lahir, tentu saja kami, saya tak hentinya-hentinya usai sholat lima waktu dan malam mendoakan ibu supaya diberi kesembuhan oleh Allah.
 
Manusia merencanakan namun Allah yang menentukan. Kondisi ibu ternyata drop kembali. 20 ampul obat kanker tahap kedua belum juga habis, ibu sudah dipanggil Allah. Di suatu pagi di bulan April 2006 ibu menutup mata untuk selama-lamanya. Dan yang membuat saya hati sesak, justu ibu meninggal saat saya tidak dirumah.  Sehari sebelumnya saya ke Semarang untuk urusan pekerjaan, dan harus menginap, untuk kemudian saya berencana pagi-nya langsung pulang ke rumah. Sepertinya melalui kepergian ibu saya kembali ditegur sama Allah dengan keras tentang klaim telah membalas kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan ibu. Dalam detik-detik paling menentukan hidup seseorang yakni sakaratul maut, saya pun tidak bisa mendampingi dan membimbing ibu—layaknya yang telah dilakukan ayah dan kakak-kakak saya—agar kematiannya khusnul khotimah.
 
***

Atas kematian ibu tersebut, batin saya menggugat: berarti doa saya tidak dikabulkan oleh Allah. Allah ingkar terhadap janjinya sendiri yang katanya akan mengambulkan setiap permintaan hamba—Nya. Padahal saya, kami semua telah berikhtiar habis-habisan demi kesembuhan ibu. Bohong kalau doa itu mengandung keajaiban.
 
Hingga pada akhirnya, saya kembali sadar bahwa tugas makhluk (hamba) memang sekadar berikhtiar dan berdoa (tawakal). Ikhtiar adalah proses yang harus ditempuh yang tidak mewajibkan kita untuk tiba pada yang kita tuju. Karena hasil itu urusan Allah. Dan saya yakin Allah memiliki kuasa dan kehendak yang terbaik untuk tiap-tiap hamba—Nya.  Doa itu sendiri kan ibadah. Meskipun “tidak dikabulkan” kalau berdoanya ikhlas, tetap akan diganjar oleh Allah dengan berlipat-lipat pahala. Dan “tidak dikabulkan” nya doa kita, dalam pandangan lain bisa dimaknai bentuk pengabulan doa, dalam wujudnya yang berbeda. Dan rahasia atau tabir itu biasanya baru akan terkuak setelah kita ikhlas menjalani kenyataan yang disapakan oleh Allah kepada kita.Dan ternyata memang benar adanya. Satu demi-demi satu tabir itu terkuak, setelah saya menjalani dan menerima kenyataan atas kematian ibu dengan ikhlas.<>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar