Sabtu, 06 Desember 2014

Ihwal Kematian



:: Agus M Irkham

Setiap sesuatu yang hidup dengan sendirinya mendukung sisi rangkapnya: kematian. Dalam bait-bait yang puitik nan dalam Bimbo mendedahkan gita berjudul Hidup dan Pesan Nabi: “Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Meskipun kesadaran tentang begitu niscaya dan dekatnya kematian, toh dalam keseharian tentang ini sering saya lupakan. Meskipun satu persatu orang-orang yang ada di dekat saya berangkat duluan.  Mulai klausa kemaujudan saya, ibu, kakak tertua, paman, dan masih banyak lagi.

Terbaru,  ada empat kabar kematian yang saya terima. Pertama Profesor Eko Budiardjo. Mantan Rektor undip. Kebetulan saat saya kuliah di Undip, Prof. Eko rektornya. Secara pribadi saya tidak dekat. Namun saat di semester  5-6 saya pernah memoderasi acara yang salah satu pembicaranya adalah beliau. Hangat. Penuh humor sekaligus dalam. Beliau suka berpuisi. Satu lagi saya pernah bertemu sekitar tahun 2011 di Semarang. Saat itu bulan Ramadhan. Dalam acara ketemu pembaca dan penulis Kompas.

Rabu pagi 23 Juli 2014 Saya kaget menerima kabar kepergian beliau, karena kurang dari sebulan sebelumnya, saat saya berada di Jakarta, saya masih membaca profil (wawancara) beliau saat menerima penghargaan sebagai Intelektual Berdedikasi dari Harian Kompas. Prof Eko sudah menulis di Kompas sejak tahun 1975. Sebelum saya lahir. Di tangan beliau persoalan arsitektur dan tata kelola kota menjadi bisa dipahami publik luas secara mudah. Dari pemikiran dan visi beliau pula jurusan Planologi lahir. Prof Eko telah pergi. Namun jejak pemikiran dan kiprahnya masih terus bisa dicecapi generasi-generasi sesudahnya.

Kabar kematian kedua saya terima dari tetangga satu desa, namun beda dusun. Meninggal Rabu siang 23 Juli. Namanya kholidin. Usia sekitar 38-39 tahun.  Kholidin ini ada anak menantu mbah Bejo, karib saya saat ngaji yang kebetulan pada tahun 2010 pernah saya tulis profilnya dan saya ikutkan dalam sebuah lomba berhadiah umroh yang diadakan Mizan.

Tiga hari sebelumnya, ditemani mbah Bejo saya sempat menjenguk Kholidin ini di rumahnya. Menurut cerita dari istrinya, Kholidin yang kebetulan teman satu kelas saya saat SD ini terkena penyakit (gagal) ginjal dan harus cuci darah. Namun pihak keluarga memilih untuk berobat di pengobatan alternatif.  Alasannya karena ketiadaan uang dan ketakutan cuci darah akan berujung kematian.

Melalui mbah Bejo saya sudah menawarkan diri untuk ikut menguruskan administrasi proses cuci darah di RSUD Kabupaten Batang. Namun seberapa dekat saya dengan mbah Bejo, saya tetap jadi orang luar. Tidak bisa memaksa pihak keluarga (istri dan keluarga Kholidin) untuk mau cuci darah. Hanya saja mbah Bejo menjanjikan akan berbicara lagi ke keluarga menantunya. Siapa tahu berubah dan mau cuci darah. Namun rupanya malaikat maut sudah datang duluan menghampiri Kholidin ketimbang mbah Bejo. Rabu 23 Juli 2014 sekitar jam 10 pagi, Kholidin menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kabar kematian yang ketiga terjadi tepat saat hari raya idhul fitri 28 Juli lalu. Namanya Sugiono. Usainya kurang lebih 50 tahun. Saya memanggilnya dengan sapaan mas kaji. Masih terhitung kerabat dekat. Mas kaji ini pemilik Warung Ayam Kampung Bu Bengat, Kutosari, Gringsing, Batang. Kepergiannya begitu cepat. Subuh saat idhul fitri usai sholat subuh, mas kaji muntah-muntah disusul kondisi tubuh yang lemas. Mengetahui hal itu pihak keluarga langsung membawanya ke Rumah Sakit. Sekitar jam 7 pagi, Allah memanggilnya.

Saat prosesi pamitan menjelang disholatkan dan dimakamkam banyak kesaksian dari beberapa tokoh masyarakat dan ulama, bahwa mas kaji ini laksana sosok “usman bin afffan” atau Abdurahman bin auf. Orang kaya yang dermawan. Barangkali sebuah pertanda pula, mas kaji meninggal dalam keadaan baru terlahir, karena  sebelumnya selama sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa.

Kabar kematian yang keempat, terjadi siang tadi. Sabtu 30 Agustus 2014. Tetangga yang sekaligus terhitung masih saudara. Namanya Adib. Usianya sekitar 25 tahun. Baru dua bulan menjadi ayah dari buah pernikahannya. Semula saya tidak percaya kabar kematiannya. Karena beberapa hari sebelumnya saya masih melihatnya dalam keadaan bugar.

Adib meninggal karena tersengat listrik. Belum jelas bagaimana runtutan kejadiannya. Tap dari cerita-cerita yang saya dengar, ia tengah memasang televisi di kamarnya. Dan barangkali saat memasukkan saklar ke sumber arus listrik itulah ia kesetrum. Seketika meninggal.

Kematian prof eko, kholidin, mas kaji, terutama Adib semakin menyadarkan kepada saya bahwa kematian itu misteri. Kapan, di mana, dalam keadaan seperti apa tidak ada yang tahu. Kematian itu begitu dekat. Ada yang sebab usia, sakit, bahkan tanpa sebab. Mati saja. Semudah dan sederhana itu.

Dulu saat mahasiswa saya pernah terobsesi dengan kematian di usia muda. Gegara membaca Catatan Seorang Demonstannya Soe Hok Gie. “Seorang filsuf  Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”
Kini, doa saya sih, Allah memberi umur yang cukup agar bisa terus membersamai kelima anak saya tumbuh, besar,  menjadi manusia dewasa dan bagian dari masyarakat.

Kalaupun tidak, saya berharap kematian saya bukan semata-mata kematian fisik yang tidak mendatangkan perubahan apapun. Tapi kematian yang dapat menjadi pintu awal bagi langkah-langkah perbaikan lingkungan.  Seperti tekat seorang sahabat yang hari-hari terakhir ini tengah memperjuangkan kebenaran di lembaga tempat ia mengabdi, yang dengan itu ia jadi kena sasaran tekanan mental, teror fisik dan ancaman kematian. Dan kesadaran itu ia dapatkan dalam usia yang masih sangat muda: 25 tahun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar