Sabtu, 06 Desember 2014

Teman SMA

:: Agus M Irkham

Dulu saya punya teman SMA. Namanya Andi. Orangnya lucu dan ganteng. Banyak disukai teman-teman perempuan. Padahal secara intelektual tidak cerdas. Sering berbuat konyol. Tapi satu hal yang paling konsisten saya lihat darinya adalah orangnya tulus. Di mata dia semua orang baik. Itu sebab mungkin meski tidak pintar secara akademik dia punya banyak teman. Tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.

Lulus SMA dia melanjutkan ke kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang. Usai kuliah bukannya melamar pekerjaan tapi justru membuka usaha parkir sepeda  dan motor. Kebetulan rumahnya persis di pinggir jalan. Tepat berada di perempatan pasar Ketapang, Kabupaten Kendal. Saat yang saya ke Semarang dan melintasi depan rumahnya, sering saya lihat Andi berada di depan rumahnya. Kadang duduk menunggu orang yang akan nitip sepeda, kadang saya lihat dia tengah menuntun motor masuk ke rumahnya. Lain waktu nampak sedang mengeluarkan sepeda dari dalam rumah, sementara ada beberapa orang nampak antri menunggu sepedanya diambil.

Saat awal membuka parkiran sepeda, sekitar tahun 2003. Satu sepeda sehari ongkosnya Rp500. Sedangkan sepeda motor Rp1.000. Saya tidak membayangkan kejenuhan yang ia alami, seharian di rumah dan mengumpulkan keping demi keping. Andi ini salah satu sahabat SMA saya yang sampai sekarang masih dekat. Minimal tiap setahun sekali saya silaturahim ke rumahnya. Saya juga dekat dengan kedua orangtuanya.

Termasuk lebaran kemarin. Saya bersama istri dan kelima anak saya silaturahim ke rumahnya. Kami pun bercerita kesana-kemari. Mengenang kegilaan dan kekonyolan saat SMA dulu. Dari ceritanya saya jadi tahu kalau sekarang aktivitasnya tidak hanya jadi tukang parkir motor tapi juga menjadi guru. Guru SLB! Andi beberapa tahun usai wisuda pernah kuliah Akta 4.

Saat saya tanya dari mana pengetahuan dan keterampilan mengajar di SLB didapat. Ya, belajar. Ikut pelatihan-pelatihan. Jawabnya. Apa yang membuatmu tergerak untuk mengajar di SLB? Tanya saya. Padahal secara ekonomi dia sudah mapan. “Orang kan perlu juga berfikir soal pahala akhirat.” Jawabnya pendek. Saya hanya diam. Ingatan saya berkelibat ke masa-masa 19 tahun lalu. Saat kami duduk di kelas 2 SMA yang sehari-hari selalu diisi dengan guyonan, main basket, ngerjain guru, ngomongin gebetan baru dan warna-warni cerita lainnya yang hampir semua berujung pada simpulan Andi ini konyol.

Tidak pernah serius. Tidak punya prestasi apa-apa. Satu saja yang paling nampak, wajahnya selalu menampakkan kegembiraan, oleh karenanya orang yang mendekatinya tertular turut bahagia. Itu sebab ia dicintai oleh banyak teman.

Tidak berhenti di sini. Kemudian saya diajak ke belakang. Di belakang rumah orangtuanya yang dipakai untuk usaha parkirnya, kini berdiri dua bangunan. Satu bangunan adalah rumah Andi, satunya lagi untuk PAUD. Bersama istrinya dia mengelola PAUD. Bahkan rumahnya pun akhirnya digunakan untuk untuk PAUD. Siswanya ada sekitar 20 anak. Terangnya.

Saat Andi bercerita, wajahnya masih tetap menampakkan rasa bahagia layaknya dulu saat kami masih sama-sama berusia  18 tahun, meski kini ia menjadi Andi yang lain. Bukan Andi yang konyol tapi Andi yang wilayah tanggungjawab sosialnya luas. Andi yang berani masuk ke dalam wilayah ketidakpahaman. Dengan modal yang sama. Rasa bahagia dan prasangka baik.






Ihwal Kematian



:: Agus M Irkham

Setiap sesuatu yang hidup dengan sendirinya mendukung sisi rangkapnya: kematian. Dalam bait-bait yang puitik nan dalam Bimbo mendedahkan gita berjudul Hidup dan Pesan Nabi: “Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa lalu. Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung, dan tiada pangkal. Hidup ini melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir. Setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup, nikmati dunia.”

Meskipun kesadaran tentang begitu niscaya dan dekatnya kematian, toh dalam keseharian tentang ini sering saya lupakan. Meskipun satu persatu orang-orang yang ada di dekat saya berangkat duluan.  Mulai klausa kemaujudan saya, ibu, kakak tertua, paman, dan masih banyak lagi.

Terbaru,  ada empat kabar kematian yang saya terima. Pertama Profesor Eko Budiardjo. Mantan Rektor undip. Kebetulan saat saya kuliah di Undip, Prof. Eko rektornya. Secara pribadi saya tidak dekat. Namun saat di semester  5-6 saya pernah memoderasi acara yang salah satu pembicaranya adalah beliau. Hangat. Penuh humor sekaligus dalam. Beliau suka berpuisi. Satu lagi saya pernah bertemu sekitar tahun 2011 di Semarang. Saat itu bulan Ramadhan. Dalam acara ketemu pembaca dan penulis Kompas.

Rabu pagi 23 Juli 2014 Saya kaget menerima kabar kepergian beliau, karena kurang dari sebulan sebelumnya, saat saya berada di Jakarta, saya masih membaca profil (wawancara) beliau saat menerima penghargaan sebagai Intelektual Berdedikasi dari Harian Kompas. Prof Eko sudah menulis di Kompas sejak tahun 1975. Sebelum saya lahir. Di tangan beliau persoalan arsitektur dan tata kelola kota menjadi bisa dipahami publik luas secara mudah. Dari pemikiran dan visi beliau pula jurusan Planologi lahir. Prof Eko telah pergi. Namun jejak pemikiran dan kiprahnya masih terus bisa dicecapi generasi-generasi sesudahnya.

Kabar kematian kedua saya terima dari tetangga satu desa, namun beda dusun. Meninggal Rabu siang 23 Juli. Namanya kholidin. Usia sekitar 38-39 tahun.  Kholidin ini ada anak menantu mbah Bejo, karib saya saat ngaji yang kebetulan pada tahun 2010 pernah saya tulis profilnya dan saya ikutkan dalam sebuah lomba berhadiah umroh yang diadakan Mizan.

Tiga hari sebelumnya, ditemani mbah Bejo saya sempat menjenguk Kholidin ini di rumahnya. Menurut cerita dari istrinya, Kholidin yang kebetulan teman satu kelas saya saat SD ini terkena penyakit (gagal) ginjal dan harus cuci darah. Namun pihak keluarga memilih untuk berobat di pengobatan alternatif.  Alasannya karena ketiadaan uang dan ketakutan cuci darah akan berujung kematian.

Melalui mbah Bejo saya sudah menawarkan diri untuk ikut menguruskan administrasi proses cuci darah di RSUD Kabupaten Batang. Namun seberapa dekat saya dengan mbah Bejo, saya tetap jadi orang luar. Tidak bisa memaksa pihak keluarga (istri dan keluarga Kholidin) untuk mau cuci darah. Hanya saja mbah Bejo menjanjikan akan berbicara lagi ke keluarga menantunya. Siapa tahu berubah dan mau cuci darah. Namun rupanya malaikat maut sudah datang duluan menghampiri Kholidin ketimbang mbah Bejo. Rabu 23 Juli 2014 sekitar jam 10 pagi, Kholidin menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kabar kematian yang ketiga terjadi tepat saat hari raya idhul fitri 28 Juli lalu. Namanya Sugiono. Usainya kurang lebih 50 tahun. Saya memanggilnya dengan sapaan mas kaji. Masih terhitung kerabat dekat. Mas kaji ini pemilik Warung Ayam Kampung Bu Bengat, Kutosari, Gringsing, Batang. Kepergiannya begitu cepat. Subuh saat idhul fitri usai sholat subuh, mas kaji muntah-muntah disusul kondisi tubuh yang lemas. Mengetahui hal itu pihak keluarga langsung membawanya ke Rumah Sakit. Sekitar jam 7 pagi, Allah memanggilnya.

Saat prosesi pamitan menjelang disholatkan dan dimakamkam banyak kesaksian dari beberapa tokoh masyarakat dan ulama, bahwa mas kaji ini laksana sosok “usman bin afffan” atau Abdurahman bin auf. Orang kaya yang dermawan. Barangkali sebuah pertanda pula, mas kaji meninggal dalam keadaan baru terlahir, karena  sebelumnya selama sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa.

Kabar kematian yang keempat, terjadi siang tadi. Sabtu 30 Agustus 2014. Tetangga yang sekaligus terhitung masih saudara. Namanya Adib. Usianya sekitar 25 tahun. Baru dua bulan menjadi ayah dari buah pernikahannya. Semula saya tidak percaya kabar kematiannya. Karena beberapa hari sebelumnya saya masih melihatnya dalam keadaan bugar.

Adib meninggal karena tersengat listrik. Belum jelas bagaimana runtutan kejadiannya. Tap dari cerita-cerita yang saya dengar, ia tengah memasang televisi di kamarnya. Dan barangkali saat memasukkan saklar ke sumber arus listrik itulah ia kesetrum. Seketika meninggal.

Kematian prof eko, kholidin, mas kaji, terutama Adib semakin menyadarkan kepada saya bahwa kematian itu misteri. Kapan, di mana, dalam keadaan seperti apa tidak ada yang tahu. Kematian itu begitu dekat. Ada yang sebab usia, sakit, bahkan tanpa sebab. Mati saja. Semudah dan sederhana itu.

Dulu saat mahasiswa saya pernah terobsesi dengan kematian di usia muda. Gegara membaca Catatan Seorang Demonstannya Soe Hok Gie. “Seorang filsuf  Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”
Kini, doa saya sih, Allah memberi umur yang cukup agar bisa terus membersamai kelima anak saya tumbuh, besar,  menjadi manusia dewasa dan bagian dari masyarakat.

Kalaupun tidak, saya berharap kematian saya bukan semata-mata kematian fisik yang tidak mendatangkan perubahan apapun. Tapi kematian yang dapat menjadi pintu awal bagi langkah-langkah perbaikan lingkungan.  Seperti tekat seorang sahabat yang hari-hari terakhir ini tengah memperjuangkan kebenaran di lembaga tempat ia mengabdi, yang dengan itu ia jadi kena sasaran tekanan mental, teror fisik dan ancaman kematian. Dan kesadaran itu ia dapatkan dalam usia yang masih sangat muda: 25 tahun!

Tentang Ibu


:: Agus M Irkham

Saya terlahir dari keluarga besar. Sebagai anak nomor 6 dari 8 bersaudara. Menjadi anak laki-laki terakhir. Dua adiknya saya perempuan. Sejak kecil saya sakit-sakitan. Terutama sakit batu ginjal, yang menyebabkan pada usia 6 tahun (sekitar tahun 1983) saya harus dioperasi di RS. Kariadi Semarang. Oleh kedua orangtua saya, terutama dari ibu, saya mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus. Sepertinya kasih sayang yang diberikan kepada saya berbeda dengan yang diberikan kepada kakak dan adik-adik saya. Bisa jadi karena rasa kasihan akibat sejak kecil sudah sakit, serta opname lama.

Beranjak remaja, kuliah, perhatian yang diberikan oleh ibu kepada saya semakin kuat. Dimanja, begitu kata saudara-saudara saya. Padahal yang saya rasakan sih biasa saja. Mungkin karena saya lebih bisa mengekspresikan bagaimana seorang anak menghormati sekaligus menyayangi ibunya. Mulai dari pembicaraan yang berisi guyonan, pelukan, ciuman, menyandarkan kepala saya di pangkuannya sambil bercerita ke sana-kemari, memberikan oleh-oleh khusus sepulang bepergian, dan lain sebagainya.

Satu lagi, perlakuan ibu ke saya agak berlebih barangkali karena pembawaan saya yang tidak gampang panik. Tetap bisa berfikir jernih. Tenang. Meskipun dalam kondisi yang untuk ukuran ibu dan keluarga besar saya pantas untuk dipanikkan. Berbeda dengan kebanyakan kakak-kakak saya. Oleh ibu saya sering dijadikan tempat curhat, sharing, terutama saat ibu akan memutuskan sesuatu. Pendek kata ikatan kami begitu kuat. Begitu dalam. Hingga sepertinya yang saya rasakan, ketergantungan ibu kepada saya menjadi begitu kuat. Menjadi satu-satu anak yang bisa diandalkan, begitu kira-kita bahasa mudahnya.
 
Saya pun tanpa saya sadari, muncul rasa sombong. Merasa sudah memberikan balasan kasing sayang yang telah diberikan ibu ke ibu pada saya. Merasa paling bisa berempati, dan mengerti sisi psikologi (kejiwaan) ibu. Sampai akhirnya suatu peristiwa penting dan besar terjadi, yang menyebabkan saya harus mengakui kalau perhatian saya belum apa-apa dibandingkan dengan kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan ibu. Hingga saya menyadari sepenuhnya bahwa kasih sayang dan pengorbanan ibu, untuk selamanya tidak akan pernah bisa kita balas. Meskipun hanya untuk setetes akhir susunya.
 
Awal tahun 2005 ibu sakit. Sering mengeluh kalau kepalanya pusing dan sakit. Kesana-kemarin mencari obat, periksa ke dokter, belum juga sembuh. Penyakitnya pun juga tidak kunjung diketahui.

Penyakit ibu tidak kunjung sembuh. Bahkan fungsi tubuhnya mulai melemah. Kaki tidak bisa digunakan untuk berjalan. Tangan juga tidak bisa digerakkan. Akhir kami memutuskan untuk dibawa ke RS. Dr. Suwondo Kendal. Dokter menyarankan untuk dilakukan ct-scan (rongsen pada tengkorak/kepala). Karena fasilitas yang tersedia tidak lengkap, akhir dirujuk ke RS. Islam Sultan Agung Semarang. Sambil menunggu hasil ct-scan, ibu tetap dirawat di RS. Dr. Suwondo. Hingga akhirnya hasil ct-scan dikirim. Ibu dinyatakan terkena tumor otak. Dokter tidak menyebutnya sebagai kanker. Mungkin agar kami, pihak keluarga tidak shock.
 
Kemudian kami membawa ibu ke RSUP. Dr. Kariadi. Ibu menjalani operasi. Sekitar 2-3 minggu di rumah sakit. Dapat dibayangkan betapa kuatir dan shocknya ibu. Seumur-umur belum pernah sakit berat, apalagi masuk rumah sakit, tiba-tiba harus masuk rumah sakit, dan harus operasi! Tugas kami, terutama saya yang harus menenangkan ibu untuk bersikap pasrah. Pelan-pelan ibu mulai tenang, bisa menguasai diri. Akhirnya hari H operasi berlangsung. Dari pagi hingga siang sekitar jam 2. Dengan harap-harap cemas kami menunggu di depan pintu keluar ruang operasi.

Alhamdulilah operasi berjalan dengan baik. Meskipun menimbulkan rasa sakit yang teramat—ibu sering mengaduh dan mengeluhkan kepala yang terasa sakit sekali, dan bawaannya ingin membuat wasiat terakhir saja, layaknya kematian sudah dekat—secara bertahap fungsi tubuh ibu mulai pulih. Tangan bisa digerakkan. Kaki juga bisa digunakan untuk berjalan. Singkat cerita, begitu sudah diizinkan pulang, kami membawa ibu pulang.
 
Meskipun dinyatakan sudah “sembuh” ibu diwajibkan kontrol ke RSUP. Dr. Kariadi seminggu sekali. Sambil mencari obat alternatif non medis, kami tetap mengantar ibu kontrol ke dokter.
 
Sekitar Oktober 2005 kondisi ibu mulai drop lagi. Tangan dan kakinya kembali sulit digerakkan. Akhirnya kami putuskan untuk kembali lagi membawanya ke RSUP.  Dr. Kariadi. Diperiksa ulang. Hingga di suatu pagi saya sendirian dipanggil oleh dokter: Ibu kena kanker otak. Sudah stadium lanjut. Kecil harapannya. Tapi kami akan berusaha.
 
Saat diberitahu, saya tengah berdiri. Dengkul terasa lemes, dan kedua mata saya tiba-tiba gelap. Bumi terasa berputar. Saya terjatuh ke lantai rumah sakit. Beruntung tidak pingsan, sehingga masih bisa menyandarkan bahu di dinding. Mata saya terasa panas. Berkaca-kaca. Dan satu persatu buliran air mata jatuh di pipi saya. Keterangan dokter tersebut sebenarnya sudah saya perkirakan sebelumnya. Tapi saya terus berusaha untuk mengingkarinya. Kenapa? Agar tetap tumbuh semangat mendampingi ibu hingga sembuh.
 
Sekitar 30 menit kemudian, saya sudah mulai bisa menguasai diri. Perlahan saya berdiri. Saya masuk ke sal tempat ibu berbaring. Saya coba untuk tetap tersenyum saat menyapa beliau. Tapi saya nggak kuat. Tangis saya pecah juga. Saya memeluk ibu kuat-kuat sambil meminta maaf jika selama ini ada kesalahan yang saya lakukan. Dan saya yakin itu sangat banyak. Ibu turut menangis, sambil berucap lirih: sama-sama. Lantas ia pun bertanya bagaimana hasil pemeriksaan dokter? Saya terpaksa berbohong. Saya katakan ibu baik-baik saja. Tinggal mengikuti saran dokter, insyAllah pelan-pelan penyakit ibu akan sembuh. Ibu tersenyum. Senyum yang membuat hati saya kian getir.
 
Lantas, oleh dokter ibu harus menjalani kemo terapi. Yaitu memasukkan cairan obat kanker melalui infus. Dilakukan bertahap. Paling kurang ibu harus melakukan kemo 10 kali. Akhirnya, secara bertahap pun (3 hari sekali, seminggu sekali, 10 hari sekali) saya dan ayah mengantar ibu ke RS. Kariadi untuk menjalani kemo terapi. Saat itu fungsi tangan dan kaki ibu masih lumpuh. Praktis saya dan ayah yang harus membantu dan melayani ibu. Mulai dari makan, minum, mandi, pipis, bab, ganti baju, pendek semua aktivitas pribadi ibu, kami yang bantu.
 
Pada awal-awal kemo, ibu masih kuat menjalani. Tapi ketika sudah mulai masuk ke tahap 6 (kalau tidak salah ingat), ibu sudah mulai merasa lelah. Sepertinya mulai menyadari kalau sudah tidak ada harapan lagi bagi kesembuhan penyakitnya. Apalagi jika harus berbicara tentang biaya pengobatan yang memang tidak sedikit. Ibu sering kali merasa bersalah. Pada situasi seperti itu saya bilang ke ibu:
 
“Ibu tidak usah risau, penyakit ibu sejatinya bukan hanya cobaan buat ibu, tapi buat kami anak-anak ibu. Dan soal biaya, insyaAllah itu semua tidak akan hilang. Karena tujuan ibu mengeluarkan uang adalah merawat amanah Allah berupa tubuh (kesehatan), insyaAllah seluruh biaya yang keluar akan dinilai Allah sebagai bentuk ibadah. Dan kelak oleh Allah di akhirat nanti akan diganti dengan berlipat-lipat kebaikan.”
 
Alhamdulilah, setelah sering saya "nasehati" , tetap memberikan harapan sembuh, sekaligus berbaik sangka dengan ketentuan Allah, semangat ibu untuk sembuh muncul kembali. Hanya saja, beliu tetap akan berhenti kemo. Karena selain membuat perut mual, tubuh jadi menghitam, rambutpun mulai rontok. Beliau meminta saya mencarikan obat alternatif lagi.

Saya pun menyanggupinya. Kebetulan di Salatiga ada dokter Yoko namanya. Beliau dikenal ahli kanker. Saya pun datang ke sana. Dengan berbekal nomor telepon yang pernah saya dapat dari sesama keluarga pasien saat dulu ibu dirawat di RS. Dr. Kariadi.  Saya ingat betul saat pertama saya ke tempat praktik dokter Yoko ini, saat itu hujan lebat. Dan karena saya naik bis, dan sudah kadung turun di ujung gang/jalan ke menuju ke rumah dr. Yoko, praktis saya kehujanan. Beruntung di sekitar 100 meter di depan saya ada masjid. Saya pun berteduh di situ. Melakukan sholat tahiyatul masjid. Dan berdoa semoga ikhtiar mencari obat ini diridhoi Allah, dan akan berbuah kesembuhan buat penyakit ibu. Siapa tahu Allah mengabulkan doa saya. Karena waktu hujan adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Batin saya saat itu.
 
 Saat bertemu dokter Yoko, yang sebelumnya harus mengantre sangat lama, saya diminta untuk datang kembali dengan membaca hasil ct-scan akhir. Itu saja. Esoknya saya kembali ke Salatiga. Menunjukkan hasil ct-scan terakhir ibu. Sebentar mengamati, lantas dr. Yoko mengatakan nanti akan segera dibuatkan buat. Ada 20 ampul. Satu hari dua ampul. Per ampul sekitar Rp300ribu (saya lupa persisnya). Saya diminta datang kembali 3 hari lagi.
 
Akhirnya dengan obat dari dr. Yoko itulah ibu kami rawat. Sambil terus memberikan minuman dan makanan suplemen kesehatan produk MLM. Seluruh keluarga bahu membahu merawat ibu. Semua tidak berjalan dengan baik sih. Kadang pas ibu meminta tolong sesuatu—misalnya sekadar membenarkan letak bantal untuk bersandar—kami tidak segera datang, terutama saya, lantaran capai. Fisik dan mental. Kadang saya merasa menjadi manusia yang paling malang, lulus kuliah bukannya melalang buana justru kembali ke rumah dan harus merawat ibu, yang praktis membuat saya menjadi betul-betul manusia rumah. Rasanya ingin marah sendiri. Mendapati situasi seperti itu, saya menjadi kian sadar, bahwa saya merasa telah memberikan perhatian dan kasih sayang secara penuh kepada ibu hanya sebatas klaim saya saja. Allah sudah menguji klaim saya itu. Dan saya gagal.
 
Meskipun terasa sangat lambat, perubahan itu mulai nampak. Wajah ibu kembali cerah. Makan dan minumnya pun mulai banyak. Obat sudah hampir habis. Lantas saya pun kembali ke Salatiga untuk memesan dan membeli obat kembali.
 
Selain berikhtiar secara lahir, tentu saja kami, saya tak hentinya-hentinya usai sholat lima waktu dan malam mendoakan ibu supaya diberi kesembuhan oleh Allah.
 
Manusia merencanakan namun Allah yang menentukan. Kondisi ibu ternyata drop kembali. 20 ampul obat kanker tahap kedua belum juga habis, ibu sudah dipanggil Allah. Di suatu pagi di bulan April 2006 ibu menutup mata untuk selama-lamanya. Dan yang membuat saya hati sesak, justu ibu meninggal saat saya tidak dirumah.  Sehari sebelumnya saya ke Semarang untuk urusan pekerjaan, dan harus menginap, untuk kemudian saya berencana pagi-nya langsung pulang ke rumah. Sepertinya melalui kepergian ibu saya kembali ditegur sama Allah dengan keras tentang klaim telah membalas kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan ibu. Dalam detik-detik paling menentukan hidup seseorang yakni sakaratul maut, saya pun tidak bisa mendampingi dan membimbing ibu—layaknya yang telah dilakukan ayah dan kakak-kakak saya—agar kematiannya khusnul khotimah.
 
***

Atas kematian ibu tersebut, batin saya menggugat: berarti doa saya tidak dikabulkan oleh Allah. Allah ingkar terhadap janjinya sendiri yang katanya akan mengambulkan setiap permintaan hamba—Nya. Padahal saya, kami semua telah berikhtiar habis-habisan demi kesembuhan ibu. Bohong kalau doa itu mengandung keajaiban.
 
Hingga pada akhirnya, saya kembali sadar bahwa tugas makhluk (hamba) memang sekadar berikhtiar dan berdoa (tawakal). Ikhtiar adalah proses yang harus ditempuh yang tidak mewajibkan kita untuk tiba pada yang kita tuju. Karena hasil itu urusan Allah. Dan saya yakin Allah memiliki kuasa dan kehendak yang terbaik untuk tiap-tiap hamba—Nya.  Doa itu sendiri kan ibadah. Meskipun “tidak dikabulkan” kalau berdoanya ikhlas, tetap akan diganjar oleh Allah dengan berlipat-lipat pahala. Dan “tidak dikabulkan” nya doa kita, dalam pandangan lain bisa dimaknai bentuk pengabulan doa, dalam wujudnya yang berbeda. Dan rahasia atau tabir itu biasanya baru akan terkuak setelah kita ikhlas menjalani kenyataan yang disapakan oleh Allah kepada kita.Dan ternyata memang benar adanya. Satu demi-demi satu tabir itu terkuak, setelah saya menjalani dan menerima kenyataan atas kematian ibu dengan ikhlas.<>

Rasa Terima Kasih


:: Agus M Irkham

Syahdan ada seorang pemuda bernama Fadil. Ia memiliki tetangga bernama Pak Ridwan, seorang yang sangat kaya dan baik hati. Bertahun-tahun, ia sering dibantu, meskipun ia tak pernah memintanya. Dari bantuan yang sifatnya materi, maupun berupa nasehat dan motivasi agar hidupnya terus bersemangat dan sabar dalam menghadapi cobaan. Suatu saat Pak Ridwan sakit. Demi mengetahui itu Fadil ingin membantunya dengan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi ternyata anak-anaknya sudah mengantarkannya. Dan membawa ke rumah sakit terbaik di kotanya. Saat ia merekomendasikan nama dokter paling pakar untuk merawat tetangganya itu, oleh anak-anaknya Pak Ridwan sudah dipilihkan dokter paling hebat yang telah memiliki track record internasional yang tak tercela untuk mengobati ayahnya.
 
Niat baik Fadil tertahan, ia mencoba memutar otak, kebaikan apa lagi yang bisa ia berikan pada Pak Ridwan, paling tidak dengan kebaikan itu ia tidak perlu lagi merasa berhutang budi, karena sudah sering ditolong. Aha, doa! Pikirnya. Ia pun memutuskan untuk membesuk Pak Ridwan. Dengan penuh rasa haru ia memasuki sal rawat Pak Ridwan.
 
Hatinya kecut. Apa yang ia dapat? Belum juga ia mengucapkan salam sebagai tanda kedatangannya dan mendekati pak Ridwan, ia sudah mendapati kasur tempat Pak Ridwan tergolek lemah sudah dikelilingi para ustadz dan kiai yang secara kasat mata dilihat dari sisi keilmuan, dan kesolehannya jauh di atas Fadil—itupun dengan catatan Fadil tergolong pemuda yang alim dan soleh. Para ustadz dan kiai itu, satu persatu dengan khusuk mendo’akan Pak Ridwan. Bahkan ada yang sangking terharunya hingga meneteskan air mata.
 
Gagal mendoakan Fadil menawarkan diri untuk tinggal di sal kamar inap menjaga Pak Ridwan. Tawaran itu secara halus ditolak oleh keluarga besar Pak Ridwan. Karena kebetulan hampir semua anak-anak Pak Ridwan telah berkumpul di Rumah Sakit, dan secara bergiliran menjaga ayah mereka.
 
Mendapati kenyataan itu, bagi Fadil, rasa-rasanya sudah tidak ada pintu lagi yang bisa ia masuki untuk ia jadikan sarana membalas kebaikan yang telah diberikan Pak Ridwan. Semua kebutuhan yang diperlukan orang yang ia kagumi itu sudah terpenuhi semua. Dan menyadari ini, hati Fadil kian masgul. Ada rasa bersalah pada dirinya. Ia merasa tidak berguna. Sekaligus ada perasaan pula bahwa, sebagai manusia ia tidak tahu balas budi. Tidak pandai bersyukur.

***
 
Pernahkah kita berada dalam situasi yang Fadil rasakan itu? Merasakan semua pintu kebaikan tertutup untuk sekadar mengurangi sedikit beban hutang budi. Kalau belum pernah, kira-kira apa yang akan kita lakukan jika suatu saat berada dalam situasi yang Fadil alami itu. Hampir dapat dipastikan, situasi batin yang kita alami akan sama persis seperti yang Fadil alami. Kita jadi panik. Serba tidak enak hati. Resah. Bingung. Galau.
 
Nah, itu terhadap makhluk. Bagaimana jika terhadap Allah? Yang telah memberikan segala-galanya buat kita secara gratis. Mulai dari nyawa, piranti indera, tubuh, hingga fasilitas yang terhampar di bumi, laut, dan langit secara melimpah (abundance). Hingga dalam surat ar-rohman berulang kali kita ditanya: Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan!  Sudah begitu, Allah sudah tegaskan tidak membutuhkan balasan apapun dari makhluk-Nya. Menyadari kondisi seperti itu, pernahkah kita merasa panik?! Karena hampir-hampir tidak ada celah untuk mengekspresikan rasa terima kasih kita kepada Allah.
 
Yang paling mudah tentu saja berucap alhamdulilah. Padahal  kata itu sejatinya tidak memerlukan sebab. Apalagi dilekatkan pada perolehan manusia. Kemalangan atau keberuntungan yang menerpa manusia, tidak mampu membatalkan atau meneguhkannya. Tetap saja segala puji itu milik Allah Swt. Pada titik ini saya jadi semakin paham kenapa seseorang ketika di mata awam tengah mengalami kemalangan, yang terucap dari mulutnya tetap saja kata alhamdulilah. Karena sepenuhnya ia tahu, kemalangan adalah satu kenyataan belaka. Dan alhamdulilah adalah kemestian yang lain. Persis seperti yang sudah ditulis Pak Muh di buku Lantai-Lantai Kota pada halaman 60.
 
Pada akhirnya, diam—diri yang telanjang, tidak ada tabir di hadapan Allah—akan menjadi puncak rasa syukur paling tinggi. Keberadaan diri kita yang polos—tanpa ada label dan embel-embel sosial, gelar akademik apapun— semata-mata hamba Allah adalah bentuk rasa syukur itu sendiri.  Satu-satunya celah yang dapat kita masuki untuk “membalas” kebaikan Allah adalah senantiasa berusaha menguak rahasia perintah Allah di balik setiap amanahnya. Mencari dan menemukan rahasia Amar Allah di balik setiap fasilitas-Nya. Wa’allahu ‘alam.