Minggu, 18 Januari 2015

Sepenggal Kisah Lampau

:: agus m irkham


Ada dua cerita yang saling berlepasan tapi sejatinya bertemu pada satu titik. Pertama. Cerita ini sudah terjadi lama sekali. Yakni saat saya di SMA. Tahun 1996. Menjadi anak pandai secara akademik tentu saja senang. Selain jadi populer di sekolah, juga sering dapat fasilitas beasiswa dan hadiah macam-macam saat juara kenaikan kelas. Sejak SD hingga SMA saya sudah biasa mendapatkan rangking 1.

Mulai dari skup sekelas yang jumlah siswanya puluhan, hingga kelas paralel yang jumlahnya ratusan siswa. Maka, itu sebab barangkali sekarang ini, saya tidak silau terhadap sebutan pandai, cerdas, pintar atau whatever-lah. Buatku sebutan itu semua jadi biasa saja. Tidak memunculkan rasa bangga diri. Datar saja.
 
Karena menjadi anak yang sejak kecil pandai akademik, tentu harapan orangtua jadi melambung. Kebetulan hanya saya yang sejak SD hingga SMA bersekolah di sekolah negeri terus. Yang di lingkungan keluarga besar dan tetangga kampung disamakan dengan kepandaian atau kecerdasan seseorang. Maka saya pun dianggap akan dengan mudah masuk perguruan tinggi negeri. Besar sekali harapan orangtua, termasuk keluarga besarku, saya diterima di perguruan tinggi negeri.
 
Tertekan juga saya mendapati kenyataan itu. Akhirnya demi mengurangi rasa kuatir, sebelum lulus SMA saya mengikuti PMDK (masuk ke PTN dengan cukup mengirimkan nilai raport), ikut bimbingan UMPTN juga, terus ikut ujian masuk D3, terus UMPTN. Singkat cerita, semua berakhir dengan kegagalan.  Tak terbayang gelapnya hidup saya waktu itu. Bayangkan saja, saya yang sebelumnya memiliki prestasi akademik bagus tiba-tiba dihadapkan pada satu kenyataan berupa tiga kali kegagalan. PMDK, D3, dan UMPTN. Dan ironisnya saya telah mengikuti bimbingan belajar masuk perguruan tinggi segala.

Di usia remaja dan dalam suasana psikologis yang masih mencari jati diri, saya harus berhadapan dengan ujian kegagalan. Situasi batin yang saya alami kian berat karena dalam kamus saya, orangtua, dan kelurga besar saya, khusus buat saya “haram” hukumnya kuliah di PTS.
 
Akhirnya, saya harus bersabar menunggu setahun lagi, untuk ikut UMPTN lagi. Yang saya lakukan sehari-hari betul-betul hanya membunuh waktu saja. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah (domestik), seperti menyapu, mengepel, dan lain-lain yang sejenis itu. Sedikitpun saya tidak memiliki keinginan untuk pergi atau memiliki sesuatu. Dan hampir-hampir saya tidak pernah bicara banyak. Termasuk kepada orangtuaku.

Gejolak batin saya lebih banyak saya tuliskan di kertas-kertas. Saat itu saya belum memiliki diary secara khusus. Tapi tentu saja hubungan saya dengan orangtua tetap baik. Saya tidak pernah membantah saat diperintah atau dimintai tolong. Pokoknya betul-betul tanpa perlawan dah.
 
Di luar itu ya curhat sama Allah. Setelah sholat wajib. Nangis-nangis gitu deh. Merasa betul-betul hopeless. Dan merasa (menyadari) tidak satu pun yang bisa menolong, bahkan diri saya sendiri—untuk memastikan bisa kuliah di PTN—kecuali Allah. Menjelang 1-2 bulan, saya coba baca lagi modul-modul UMPTN yang setahun lalu saya dapat saat ikut bimbel. Dan dengan tidak begitu percaya diri, mungkin tepatnya tidak lagi menyombongkan diri bakal diterima, saya mendaftar UMPTN.  Happy ending. Saat pengumuman saya diterima di Undip, Semarang.
 
Cerita kedua, yakni saat kelahiran anak saya yang keempat. Kebetulan mulai dari anak pertama hingga keempat, saya selalu di samping istri, saat ia melahirkan (bersalin). Jadi semacam “asisten bidan” tapi untuk urusan psikologis, hehe. Anak pertama, lahir di rumah. Anak kedua dan ketiga lahir di bidan. Dan anak keempat lahir di rumah sakit. Tiap kelahiran memiliki cerita masing-masing. Tapi yang paling dramatis adalah kelahiran anak keempat.
 
Pengin tahu sedramatis apa ceritanya?
 
Begini awalnya. Sehari sebelum lahir. Saat itu siang hari, saya masih kerjabakti di Mushola depan rumah. Istri memanggil saya. Bilang kalau ketuban udah pecah. Tapi masih berupa lelera-leleran sedikit. Saya pun bergegas mengantar ke bidan terdekat. Oleh bidan diperiksa, ternyata udah bukaan satu. Tapi disarankan pulang dulu saja. Tapi pesannya kalau esok belum juga lahir, diminta datang lagi untuk dibuatkan surat rujukan ke rumah sakit.
 
Kami pun pulang. Esok harinya, leleran ketuban semakin deras. Saya pun langsung nelpon dokter kandungan langganan kami. Namanya dokter Jundan (istri saya pada kehamilan kedua pernah kiret karena hamil anggur, dan dokter ini yang mengoperasi). Dari suaranya yang berat, sepertinya dokter Jundan baru saja bangun tidur. Saya tepis rasa bersalah karena telah mengganggu jam istirahat beliau. Begitu saya beritahu ketuban udah terus mengalir, beliau langsung meminta untuk segera dibawa ke rumah sakit. Rumah Sakit Islam Kendal. Kalau dari rumah kami sekitar 10 km.
 
Saya pun buru-buru membawa istri ke rumah sakit. Ditemani om (yang nyetir mobil) dan anak pertama saya, Aulia yang usianya pada waktu itu sekitar 5 tahun lebih dikit. Sesampainya di rumah sakit, sekitar jam 8 pagi istri saya langsung dipacu. Yakni dengan memasukkan cairan dalam botol infus dan dialirkan ke tubuh melalui jarum suntik yang ditubleskan di nadi tangan sebelah kiri.
 
Habis satu botol, bukaan lahiran tak kunjung-kunjung nambah. Padahal perut udah sakit sekali, karena pengaruh obat pacu tersebut. Waktu itu sekitar jam 1 siang. Lantas istri, sambil nangis, dan disaksikan para perawat meminta izin saya untuk lebih baik operasi sesar saja. Karena sudah tidak kuat menahan sakit. Cairan ketuban juga terus keluar. Kuatirnya nanti ketuban sudah kadung habis, bayi belum mau keluar.
 
Akhirnya, saya mengizinkan. Lantas botol kedua obat pacu pun dihentikan. Dan istri saya sudah merasa baikan lagi. Perutnya tidak lagi seperti dikrues-krues. Lalu saya dekati. Saya candai. Bener ma, mau sesar. Nanti kalau mau nambah (anak) minimal harus  menunggu 4-6 tahun lagi lho. Terus, katanya kalau abis sesar badrest-nya lama. Mendengar candaan saya itu, istrinya tersenyum, dan di wajahnya nampak keraguan. Tapi tidak sampai membatalkan dirinya untuk tetap minta disesar. Mungkin karena masih trauma dengan rasa sakit akibat obat pacu itu.
 
Kami harus menunggu jadwal sesar. Karena kebetulan jumlah dokter kandungan terbatas. Dan dokter Jundan tengah menangani pasien. Jadi kami harus antri. Di saat menunggu itu saya minta izin istri untuk keluar sebentar. Saya menuju masjid rumah sakit. Mengambil air wudhu, dan melakukan sholat mutlak dua rakaat, dan berdoa. (tentang ini saya mengikuti apa yang pernah dilakukan imam khumaeni, tokoh pembaharu, dan ulama besar di Iran). Doa saya khusus saya tujukan pada proses persalinan istri.

Saya minta ke Allah ketentuan yang terbaik buat kami. Sambil tak lupa tetap mengucapkan pengharapan agar proses kelahirannya berjalan normal. Tidak perlu sesar. Karena meskipun jalan itu sepertinya jalan mudah, tapi menyisakan “penderitaan” tak terkira setelah proses operasi selesai.

Usai sholat, saya masuk lagi ke sal tempat istri berbaring. Ia sudah berganti baju operasi warna hijau. Waktu itu jam tiga kurang limabelas menit. Tiba-tiba saja, istri saya merasa perutnya mulas sekali. Lantas, saya pun segera memanggil para perawat. Begitu dicek, ternyata udah bukaan 6-7. Dan terus mengalami kontraksi. Kami pun heboh tergopoh-gopoh menyiapkan perlengkapan melahirkan. Memakai kaos tangan, mengeluarkan sarung, jarik dari dalam tas yang saya bawa.  Ketika perawat meminta istri saya untuk ambil nafas dan istirahat sebentar yang terjadi justru istri saya mengejan kembali. Seolah-olah si bayi sudah tak sabar ingin keluar (lahir). Akhirnya kurang dari 15 menit. Putra keempat kami lahir. Kami menamainya Ihtimam Hamzah Zakaria Irkham, sesuai dengan kisah kelahirannya yang penuh “keajaiban” itu.
 
Suasana batin yang saya hadirkan pada dua peristiwa di atas adalah betul-betul sikap pasrah. Merasa saya betul-betul dhoif, lemah. Hampir-hampir tidak lagi memiliki kehendak atas sesuatu. Semua terserah Allah. Saya terima saja bulat-bulat.  Bahkan ikhtiar lahiriah yang saya upayakan itu kalau tidak karena izin Allah, juga tidak dapat saya lakukan.
 
Dan dalam suasana batin seperti itu, justu yang saya rasakan bukannya runtuh semangat, tapi justru sebaliknya. Tetap bersemangat, berikhtiar sebaik mungkin, dan memasrahkan segala hasil akhirnya kepada Allah Swt semata. Bawaannya jiwa saya jadi enteng. Langkah kaki ini menjadi ringan. Beban yang sebelumnya memberati kepala dan pundak terangkat tak tersisa.
 
Lantas kenyataan yang kemudian berlangsung, saya yakin itulah kekuatan doa. Dalam bahasa yang agak rumit, sesuatu yang sebelumnya terbatas, tidak mungkin, terhingga, menjadi tidak terbatas, serba penuh kemungkinan, dan tak terhingga ketika kita sudah memasukkan dan melibatkan Allah Swt dalam setiap ikhtiar yang kita lakukan.
 
Pengalaman yang saya alami saat sma itu, belakangan juga saya sadari memang menjadi cara Allah mendidik saya untuk senantiasa akrab dengan kegagalan, kekecewaan, mengolah rasa batin (spiritualitas). Semacam tes-tes kecil yang sederhana untuk di kemudian hari akan diberikan soal-soal ujian yang lebih sulit dan berat.
 
Dan pengalaman itu semua sepertinya yang turut pula membentuk kedirian saya saat ini yang lebih condong ke hal-hal yang sifatnya sufistik (kontemplasi batin). Selalu melihat di balik yang nampak. Selalu berusaha menyimak tabir rahasia perintah Allah di balik setiap kenyataan hidup yang disapakan kepada saya.

Dua kenyataan di atas semakin memahamkan saya pada satu ungkapan:

"Ikhtiar adalah proses yang harus ditempuh yang tidak mewajibkan kita untuk tiba pada yang kita tuju. Ikhtiar urusan kita. Hasil sepenuhnya hak Allah. Teruslah melangkah. Temukan rahasia perintah Allah di balik helai amanahnya. Sibak tabir amar Allah di balik tiap fasilitasnya. Teruslah melangkah. Jangan pernah merasa mapan, kecuali nanti di hadapan Allah. Agar hidupmu senantiasa diliputi keajaiban."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar