Booksigning usai bedah buku IPK di STAIN Salatiga |
InsyaAllah Selasa pagi, 17 Desember
2013 nanti buku 24 Cara Mendongkrak IPK: Sebuah Diary Mantan Mahasiswa Bodoh
akan dibedah di UIN Jogjakarta. Dalam hitungan saya ini adalah bedah buku yang
ke-22 kali sejak buku tersebut terbit September 2010.
Sebelumnya pernah dibedah di Universitas Sriwijaya (Palembang),
Universitas Mulawarman (Samarinda, dua kali), Universitas Diponegoro
(Semarang, di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Fakultas Kesehatan
Masyarakat), Universitas Islam Nusantara (Bandung), STAN Jakarta, STAIN
Salatiga, Universitas Negeri Yogyakarta (dua kali), UIN Jogjakarta, Universitas
Muria Kudus, Universitas Jenderal Sudirman (Purwokerto), Universitas Brawijaya
(Malang), IAIN Sunan Ampel (Surabaya), IAIN Walisongo Semarang, Universitas Negeri Padang
(bersamaan dengan pelatihan menulis), Universitas Udayana (Bali), dan Institut
Seni Indonesia (Surakarta), Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, dan
Universitas Semarang.
Alhamdulilah dengan wasilah atau perantara buku ini saya bisa
masuk ke banyak perguruan tinggi, baik di jawa maupun luar jawa. Tentu saja,
tiap tempat (perguruan tinggi) memiliki cerita masing-masing. Mulai dari proses
sebelum berlangsungnya acara hingga saat acara. Dari 21 kali bedah buku yang
saya bersamai tersebut ada satu kesan paling unik—atau lebih tepat disebut
paling beda dan sempat membuat saya “gila”—yang saya rasakan, yakni saat bedah
buku di ISI Surakarta.
Berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, saat bedah buku di ISI,
sampai dengan saya menginjakkan kaki ke tangga gedung acara, saya belum punya gambaran
yang gamblang, lewat pintu mana saya harus masuk. Di kepala saya, satu
pertanyaan terus berputar-putar: apakah perolehan IPK tinggi itu penting buat
mahasiswa ISI.
Apalagi saat saya coba masuk ke website ISI dan membaca satu
persatu pilihan program studi, seperti Seni Tari, Seni Kriya, Seni Rupa, dan
Seni Pendalangan, rasa-rasanya semakin tertutup pintu masuk buat saya untuk
membicarakan IPK di ISI. Karena semua pilihan program itu sangat bersifat
pribadi, substil, dan bernilai kualitatif.
Tapi entah, apakah di tubuh saya memang mengandung darah seni atau
tidak, begitu saya bertemu dengan beberapa panitia yang menurut saya citraan
luarnya agak berbeda, dan mendapati perlakuan mereka yang bersahabat,
kebekuan di kepala mulai mencair. Saya seperti anak hilang yang baru saja
pulang, dan masuk ke rumah sendiri (asal), dan bertemu dengan keluarga saya.
Apalagi setelah bertegur sapa dan berdiskusi terlebih dahulu
di ruang transit dengan pembicara pembanding, Drs. Subandi M. Hum, dosen
sekaligus Kepala Pusat Penjamin Mutu ISI Surakarta. Jalan yang semula
buntu, tiba-tiba ada 1000 pintu terbuka yang dapat saya masuki untuk
menjadi bahan diskusi saat bedah buku.
Singkat cerita , dari diskusi awal dengan Pembanding, saya jadi
tahu, kalau ternyata mahasiswa ISI tetap saja memerlukan perolehan “IPK
psikologis” terutama buat para sarjana yang ingin berkarir atau masuk ke ranah
industial, bukan personal. Termasuk jika ingin meniti karir menjadi dosen di
lingkungan ISI.
Selanjutnya, jalannya bedah buku menjadi sangat mengalir
lancar. Diskusi hidup. Lalu lintas pertanyaan padat, hingga waktu yang
tersedia tidak cukup. Bedah buku di ISI Surakarta ini juga memberikan beberapa
masukan dan inspirasi buat saya, yang saya pastikan sangat berguna untuk pengayaan
dan pendalaman sekaligus revisi buku IPK.
Klop sudah dengan apa yang saya katakan saat membuka pembicaraan
dengan para mahasiswa ISI yang hadir. Bedah buku dan buku itu sendiri buat saya
menjadi sarana untuk mengujipublikkan apa-apa yang saya yakini sebagai
sebuah kebenaran. Jadi jalannya diskusi bisa saja isinya merupakan penolakan
atau antitesis atas apa yang saya tulis. Tapi justru dengan begitu saya
memiliki kesempatan untuk menilik ulang isi buku saya, dan mendialogkan
antitesis itu, sehingga melahirkan sintesa yang sejatinya merupakan tesis baru
dalam kadar atau nilai kebenaran yang lebih tinggi.
Berkah lain dari seringnya keluar masuk perguruan tinggi baik
diundang dalam rangka bedah buku maupun menjadi pemateri pelatihan menulis
lantas bertemu dengan para mahasiswa, dosen, staf akademik-kemahasiswaan, merasakan
kembali atmosfir kehidupan kampus, adalah munculnya impian pada diri saya
bahwa suatu saat saya akan secara penuh kembali ke kampus. Mengajar. Ya,
mengajar. Saya melihat posisi perguruan tinggi ini sangat strategis. Menjadi
produsen kelas menengah. Dan kelas menengah ini dalam sejarah perkembangan
bangsa-bangsa memiliki peran kunci terjadinya perubahan.
Secara simplisitis awan persoalan klasik dan klise yang terus
menggelayut di atas langit Indonesia yakni pengangguran, kemiskinan,
serta ketidakadilan dapat dibaca sebagai buah kegagalan kelas menengah.
Ketidamampuan kaum sarjana memberikan peran yang siginifikan di masyarakat. Kelahiran
para sarjana ini baru mampu menambah kelas menengah di Indonesia dari sisi
jumlah (kuantitas). Belum memberikan peran yang berarti (kualitas). Perlu
ijtihad proses perkuliahan yang serius dari pengelola perguruan tinggi agar ke
depan, para lulusannya betul-betul menjadi agent of
change.
Dengan mengajar secara penuh di perguruan tinggi, akan memberikan
kesempatan dan keleluasaan pada saya untuk mentransformasikan isi buku IPK
dalam jalannya perkuliahan. Karena buku tersebut saya tulis memang
sebagai bagian dari ijtihad saya agar perguruan tinggi-perguruan tinggi
di Indonesia mampu melahirkan sarjana kuadran pertama. Sarjana yang memiliki
indeks prestasi kumulatif “sempurna”, sekaligus indeks peradaban kumulatif
“menggetarkan”. Sehingga, dalam ungkapan yang agak hiperbolis, kehadiran para
kelas menengah baru ini menggenapkan. Dan ketiadaannya mengganjilkan. Dipandang
dari segi kontribusi mereka bagi kemajuan bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar