Kamis, 12 Desember 2013

Diterbangkan Buku


Booksigning usai bedah buku IPK di STAIN Salatiga
:: agus m. irkham

InsyaAllah Selasa pagi, 17 Desember 2013 nanti buku 24 Cara Mendongkrak IPK: Sebuah Diary Mantan Mahasiswa Bodoh akan dibedah di UIN Jogjakarta. Dalam hitungan saya ini adalah bedah buku yang ke-22 kali sejak buku tersebut terbit September 2010.

Sebelumnya pernah dibedah di Universitas Sriwijaya (Palembang), Universitas Mulawarman (Samarinda, dua kali), Universitas Diponegoro (Semarang, di Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Fakultas Kesehatan Masyarakat), Universitas Islam Nusantara (Bandung), STAN Jakarta, STAIN Salatiga, Universitas Negeri Yogyakarta (dua kali), UIN Jogjakarta, Universitas Muria Kudus, Universitas Jenderal Sudirman (Purwokerto), Universitas Brawijaya (Malang), IAIN Sunan Ampel  (Surabaya), IAIN Walisongo Semarang, Universitas Negeri Padang (bersamaan dengan pelatihan menulis), Universitas Udayana (Bali), dan Institut Seni Indonesia (Surakarta), Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, dan Universitas Semarang.   

Alhamdulilah dengan wasilah atau perantara buku ini saya bisa masuk ke banyak perguruan tinggi, baik di jawa maupun luar jawa. Tentu saja, tiap tempat (perguruan tinggi) memiliki cerita masing-masing. Mulai dari proses sebelum berlangsungnya acara hingga saat acara. Dari 21 kali bedah buku yang saya bersamai tersebut ada satu kesan paling unik—atau lebih tepat disebut paling beda dan sempat membuat saya “gila”—yang saya rasakan, yakni saat bedah buku di ISI Surakarta.

Berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, saat bedah buku di ISI, sampai dengan saya menginjakkan kaki ke tangga gedung acara, saya belum punya gambaran yang gamblang, lewat pintu mana saya harus masuk. Di kepala saya, satu pertanyaan terus berputar-putar: apakah perolehan IPK tinggi itu penting buat mahasiswa ISI.

Apalagi saat saya coba masuk ke website ISI dan membaca satu persatu pilihan program studi, seperti Seni Tari, Seni Kriya, Seni Rupa, dan Seni Pendalangan, rasa-rasanya semakin tertutup pintu masuk buat saya untuk membicarakan IPK di ISI. Karena semua pilihan program itu sangat bersifat pribadi, substil, dan bernilai kualitatif.

Tapi entah, apakah di tubuh saya memang mengandung darah seni atau tidak, begitu saya bertemu dengan beberapa panitia yang menurut saya citraan luarnya agak berbeda, dan mendapati perlakuan mereka  yang bersahabat, kebekuan di kepala mulai mencair. Saya seperti anak hilang yang baru saja pulang, dan masuk ke rumah sendiri (asal), dan bertemu dengan keluarga saya.
Apalagi setelah bertegur sapa  dan berdiskusi terlebih dahulu di ruang transit dengan pembicara pembanding, Drs. Subandi M. Hum, dosen sekaligus Kepala Pusat Penjamin Mutu ISI Surakarta.  Jalan yang semula buntu, tiba-tiba ada 1000 pintu  terbuka yang dapat saya masuki untuk menjadi bahan diskusi saat bedah buku.  

Singkat cerita , dari diskusi awal dengan Pembanding, saya jadi tahu, kalau ternyata mahasiswa ISI tetap saja memerlukan perolehan “IPK psikologis” terutama buat para sarjana yang ingin berkarir atau masuk ke ranah industial, bukan personal. Termasuk jika ingin meniti karir menjadi dosen di lingkungan ISI.

Selanjutnya, jalannya bedah buku menjadi sangat mengalir lancar.  Diskusi hidup. Lalu lintas pertanyaan padat, hingga waktu yang tersedia tidak cukup. Bedah buku di ISI Surakarta ini juga memberikan beberapa masukan dan inspirasi buat saya, yang saya pastikan sangat berguna untuk pengayaan dan pendalaman sekaligus revisi buku IPK.

Klop sudah dengan apa yang saya katakan saat membuka pembicaraan dengan para mahasiswa ISI yang hadir. Bedah buku dan buku itu sendiri buat saya menjadi sarana untuk mengujipublikkan apa-apa yang saya yakini  sebagai sebuah kebenaran. Jadi jalannya diskusi bisa saja isinya merupakan penolakan atau antitesis atas apa yang saya tulis. Tapi justru dengan begitu saya memiliki kesempatan untuk menilik ulang isi buku saya, dan mendialogkan antitesis itu, sehingga melahirkan sintesa yang sejatinya merupakan tesis baru dalam kadar atau nilai kebenaran yang lebih tinggi.

Berkah lain dari seringnya keluar masuk perguruan tinggi baik diundang dalam rangka bedah buku maupun menjadi pemateri pelatihan menulis lantas bertemu dengan para mahasiswa, dosen, staf akademik-kemahasiswaan, merasakan kembali atmosfir kehidupan kampus, adalah munculnya  impian pada diri saya bahwa suatu saat saya akan secara penuh kembali ke kampus. Mengajar. Ya, mengajar. Saya melihat posisi perguruan tinggi ini sangat strategis. Menjadi produsen kelas menengah. Dan kelas menengah ini dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa memiliki peran kunci terjadinya perubahan. 

Secara simplisitis awan persoalan klasik dan klise yang terus menggelayut di atas langit Indonesia yakni  pengangguran, kemiskinan, serta ketidakadilan dapat dibaca sebagai buah kegagalan kelas menengah. Ketidamampuan kaum sarjana memberikan peran yang siginifikan di masyarakat. Kelahiran para sarjana ini baru mampu menambah kelas menengah di Indonesia dari sisi jumlah (kuantitas). Belum memberikan peran yang berarti (kualitas). Perlu ijtihad proses perkuliahan yang serius dari pengelola perguruan tinggi agar ke depan, para lulusannya betul-betul menjadi agent of change.

Dengan mengajar secara penuh di perguruan tinggi, akan memberikan kesempatan dan keleluasaan pada saya untuk mentransformasikan isi buku IPK dalam jalannya perkuliahan. Karena buku tersebut saya tulis memang  sebagai bagian dari ijtihad saya agar perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia mampu melahirkan sarjana kuadran pertama. Sarjana yang memiliki indeks prestasi kumulatif “sempurna”, sekaligus indeks peradaban kumulatif “menggetarkan”. Sehingga, dalam ungkapan yang agak hiperbolis, kehadiran para kelas menengah baru ini menggenapkan. Dan ketiadaannya mengganjilkan. Dipandang dari segi kontribusi mereka bagi kemajuan bangsa dan negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar