:: agus m. irkham
Peristiwa ini berlangsung sekitar tujuh tahun lalu. Saat itu saya menjadi instruktur
pelatihan menulis di klinik baca tulis perpustakaan kota magelang. Salah satu
pesertanya adalah guru di SLB. Pak Budi namanya. Saya lupa, tepatnya SLB jenis
atau kategori apa. Yang jelas seusai pelatihan, spontan saya diajak Pak Budi
ini berkunjung ke SLB tempat ia mengajar. Untuk pertama kali, ketika saya
mengiyakan ajakan tersebut, yang ada dalam benak saya adalah: siswa-siswa SLB
ini harus aku dorong untuk menulis. Menceritakan tentang dunia mereka.
Pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri. Serta pandangan lingkungan
sekitar menanggapi keberadaan mereka. Dapat dibayangkan inspirasi seperti apa
yang bakal ditimbulkan ketika siswa-siswa berkebutuhan khusus ini. Saat mereka
mampu menceritakan harapan, cita-cita, kekuatiran, pendek kata segenap apa yang
mereka pikirkan kepada dunia.
Dengan semangat seperti itulah saya memasuki satu ruang kelas yang diampu
Pak Budi. Olehnya, saya diperkenalkan kepada murid-muridnya. Kelas yang saya
masuki adalah jenjang SMA.Teny, Vivi, Ferdy, dan Agung, adalah empat nama
siswa, dari sekitar 10 siswa, yang masih saya ingat. Khusus untuk terakhir yang
disebut, memiliki keterampilan khusus, yaitu pandai menggambar kartun, dan
karikatur. Sedangkan dua nama awal disebut, oleh Pak Budi dikatakan
sebagai murid yang menonjol. Memiliki kecerdasan dan rasa percaya diri yang
lumayan tinggi ketimbang teman-teman yang lain. Tentu Anda jangan membayangkan
kecerdasan yang saya maksud sebagaimana kecerdasan kebanyakan orang.
Singkat kata, saya memperkenalkan diri. Mencoba berbicara dan menyapa
mereka yang seluruhnya bisu dan tuli. Tentu saja mereka tidak mendengar suara
saya. Beruntung, di samping saya ada Pak Budi yang menerjemahkan ucapan saya
dengan bahasa/isyarat jari. Berbarengan dengan itu, saya langsung minta diajari
berkomuninasi dengan isyarat jari. Tapi tetap saja saya mengandalkan bahasa
ucap, dengan cara pengucapan sedemikian rupa sehingga Teny dan teman-temannya
mampu membaca gerak bibir saya. Dengan tetap ditemani ”penerjemah” saya, Pak
Budi, saya terus mengajak mereka berdialog. Memberi kesempatan mereka bertanya.
Oh iya, untuk pertanyaan dengan jawaban yang agak panjang, misalnya soal di
mana alamat rumah saya, saya menuliskannya di papan tulis. Lalu mereka pun
sambil riuh penuh ekspresi menyalin tulisan saya ke buku tulis masing-masing.
Tak terasa, waktu sudah menjelang dzuhur. Saya terus mencoba untuk
berdialog. Saya beranikan diri untuk bertanya soal cita-cita setelah lulus
sekolah. Ada yang mau menjadi penjual nasi goreng, ada yang mau bekerja di
bengkel, banyak pula yang tidak berani menyebutkan cita-citanya. Saya tercenung
mendapati kenyataan itu. Cita-cita mereka begitu sederhana dan “sepele” jika
dibandingkan kebanyakan anak-anak seusia mereka di luaran sana. Bahkan
kebanyakan murid-murid Pak Budi ini tidak berani bercita-cita. Mereka merasa
tidak pantas bercita-cita. Menurut pak Budi salah satu kelebihan anak-anak
didiknya adalah memiliki perasaan yang peka. Sensitivitasnya tinggi. Barangkali
mereka tahu diri. Karena tak jarang, meskipun mereka di sekolah terlihat
percaya diri, tapi ketika tinggal di rumah, atau di lingkungan rumah, mereka
jadi minder. Karena tak jarang “keunikan” mereka jadi sasaran olok-olokan
banyak orang. Makanya ada beberapa siswa yang terutama rumahnya jauh, lebih
memilih untuk tinggal di sekolah. Yang memang fasilitas untuk itu telah
disediakan pihak sekolah.
Sekarang, tibalah saatnya saya pada misi utama, yaitu mengajak mereka
menulis. Tapi demi mengetahui kondisi mereka, saya urungkan niat itu. Sebagai
gantinya saya mulai membagikan kartu berukuran 10 cm persegi ke masing-masing
siswa. Mereka saya minta menuliskan apa saja tentang saya. Mereka saya berikan
kebebasan, sebebas-bebasnya untuk memberikan komentar tentang saya. Di luar
dugaan semua mau menulis, hanya saja susunan katanya tidak beraturan. Seperti
yang dapat Anda baca di gambar berikut ini:
Bagaimana? Masih juga sulit memahami maksudnya?
***
Dua kartu itu sering saya tunjukkan pada peserta pelatihan menulis.
Sekaligus saya gunakan sebagai shock terapy peserta yang tidak pede dengan
tulisannya. Merasa tulisannya jelek, tidak enak dibaca, kurang sistematis, dan
lain-lain alasan. Tentu, saya tidak sedang berniat menjelek-jelekkan tulisan
komentar Teny dan Vivi pada saya. Saya hanya ingin mengatakan, separah-parah
Anda, manusia normal, pasti tulisannya tidak akan setidak urut Teny dan Vivi.
Saya jadi paham, bisu dan tuli adalah menyangkut kerja saraf, dan ini juga
sangat mempengaruhi kemampuan otak/syaraf untuk mengolah, merasakan, dan
menggunakan bahasa, lebih spesifik adalah kata-kata. Jadi dapat dikatakan Teny
dan Vivi ini memang sudah ”ditakdirkan” untuk tidak bisa menulis. Tapi, ini
simpulan saya pribadi, yang tentu saja sangat subjektif, dan belum berhasil
saya cari referensi penguat atas simpulan tersebut.
Nah, saya, Anda ini kan manusia normal, tentu akan jauh lebih mudah
menguasai kata-kata ketimbang Teny dan Vivi kan?!. Maka sebagai bentuk rasa
syukur atas karunia kenikmatan dan kelengkapan piranti hidup yang telah
diberikan Tuhan tersebut, sudah selayaknya Anda menulis. Dan jangan lagi
beralasan tulisan saya jelek!
***
Dan yang mengharukan di saat saya pamit pulang, Agung maju ke depan
menyerahkan gambar karikatur saya yang tengah duduk bersila dengan kedua tangan
saya tengah memegang buku. Saya salami dia, sambil mengucapkan kata terima
kasih. Ia pun tersenyum, sama-sama. Lalu, Teny, Ferdi, Vivi, dan siswa-siswa
lain bergiliran menyalami saya, lengkap dengan senyum lepas mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar