Minggu, 15 Desember 2013

Belajar Menulis dari Teny dan Vivi


:: agus m. irkham

Peristiwa ini berlangsung sekitar tujuh  tahun lalu. Saat itu saya menjadi instruktur pelatihan menulis di klinik baca tulis perpustakaan kota magelang. Salah satu pesertanya adalah guru di SLB. Pak Budi namanya. Saya lupa, tepatnya SLB jenis atau kategori apa. Yang jelas seusai pelatihan, spontan saya diajak Pak Budi ini berkunjung ke SLB tempat ia mengajar. Untuk pertama kali, ketika saya mengiyakan ajakan tersebut, yang ada dalam benak saya adalah: siswa-siswa SLB ini harus aku dorong untuk menulis. Menceritakan tentang dunia mereka. Pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri. Serta pandangan lingkungan sekitar menanggapi keberadaan mereka. Dapat dibayangkan inspirasi seperti apa yang bakal ditimbulkan ketika siswa-siswa berkebutuhan khusus ini. Saat mereka mampu menceritakan harapan, cita-cita, kekuatiran, pendek kata segenap apa yang mereka pikirkan kepada dunia.

Dengan semangat seperti itulah saya memasuki satu ruang kelas yang diampu Pak Budi. Olehnya, saya diperkenalkan kepada murid-muridnya. Kelas yang saya masuki adalah jenjang SMA.Teny, Vivi, Ferdy, dan Agung, adalah empat nama siswa, dari sekitar 10 siswa, yang masih saya ingat. Khusus untuk terakhir yang disebut, memiliki keterampilan khusus, yaitu pandai menggambar kartun, dan karikatur.  Sedangkan dua nama awal disebut, oleh Pak Budi dikatakan sebagai murid yang menonjol. Memiliki kecerdasan dan rasa percaya diri yang lumayan tinggi ketimbang teman-teman yang lain. Tentu Anda jangan membayangkan kecerdasan yang saya maksud sebagaimana kecerdasan kebanyakan orang.

Singkat kata, saya memperkenalkan diri. Mencoba berbicara dan menyapa mereka yang seluruhnya bisu dan tuli. Tentu saja mereka tidak mendengar suara saya. Beruntung, di samping saya ada Pak Budi yang menerjemahkan ucapan saya dengan bahasa/isyarat jari. Berbarengan dengan itu, saya langsung minta diajari berkomuninasi dengan isyarat jari. Tapi tetap saja saya mengandalkan bahasa ucap, dengan cara pengucapan sedemikian rupa sehingga Teny dan teman-temannya mampu membaca gerak bibir saya. Dengan tetap ditemani ”penerjemah” saya, Pak Budi, saya terus mengajak mereka berdialog. Memberi kesempatan mereka bertanya. Oh iya, untuk pertanyaan dengan jawaban yang agak panjang, misalnya soal di mana alamat rumah saya, saya menuliskannya di papan tulis. Lalu mereka pun sambil riuh penuh ekspresi menyalin tulisan saya ke buku tulis masing-masing.


Tak terasa, waktu sudah menjelang dzuhur. Saya terus mencoba untuk berdialog. Saya beranikan diri untuk bertanya soal cita-cita setelah lulus sekolah. Ada yang mau menjadi penjual nasi goreng, ada yang mau bekerja di bengkel, banyak pula yang tidak berani menyebutkan cita-citanya. Saya tercenung mendapati kenyataan itu. Cita-cita mereka begitu sederhana dan “sepele” jika dibandingkan kebanyakan anak-anak seusia mereka di luaran sana. Bahkan kebanyakan murid-murid Pak Budi ini tidak berani bercita-cita. Mereka merasa tidak pantas bercita-cita. Menurut pak Budi salah satu kelebihan anak-anak didiknya adalah memiliki perasaan yang peka. Sensitivitasnya tinggi. Barangkali mereka tahu diri. Karena tak jarang, meskipun mereka di sekolah terlihat percaya diri, tapi ketika tinggal di rumah, atau di lingkungan rumah, mereka jadi minder. Karena tak jarang “keunikan” mereka jadi sasaran olok-olokan banyak orang. Makanya ada beberapa siswa yang terutama rumahnya jauh, lebih memilih untuk tinggal di sekolah. Yang memang fasilitas untuk itu telah disediakan pihak sekolah.

Sekarang, tibalah saatnya saya pada misi utama, yaitu mengajak mereka menulis. Tapi demi mengetahui kondisi mereka, saya urungkan niat itu. Sebagai gantinya saya mulai membagikan kartu berukuran 10 cm persegi ke masing-masing siswa. Mereka saya minta menuliskan apa saja tentang saya. Mereka saya berikan kebebasan, sebebas-bebasnya untuk memberikan komentar tentang saya. Di luar dugaan semua mau menulis, hanya saja susunan katanya tidak beraturan. Seperti yang dapat Anda baca di gambar berikut ini:




Anda paham yang dimaksudkan Teny dalam tulisan tersebut? Kalau belum berhasil menangkap maksud tulisan itu, coba Anda baca tulisan Vivi berikut, yang menurut saya tingkat kerumitannya di bawah tulisan Teny.
 

 Bagaimana? Masih juga sulit memahami maksudnya?

***

Dua kartu itu sering saya tunjukkan pada peserta pelatihan menulis. Sekaligus saya gunakan sebagai shock terapy peserta yang tidak pede dengan tulisannya. Merasa tulisannya jelek, tidak enak dibaca, kurang sistematis, dan lain-lain alasan. Tentu, saya tidak sedang berniat menjelek-jelekkan tulisan komentar Teny dan Vivi pada saya. Saya hanya ingin mengatakan, separah-parah Anda, manusia normal, pasti tulisannya tidak akan setidak urut Teny dan Vivi. Saya jadi paham, bisu dan tuli adalah menyangkut kerja saraf, dan ini juga sangat mempengaruhi kemampuan otak/syaraf untuk mengolah, merasakan, dan menggunakan bahasa, lebih spesifik adalah kata-kata. Jadi dapat dikatakan Teny dan Vivi ini memang sudah ”ditakdirkan” untuk tidak bisa menulis. Tapi, ini simpulan saya pribadi, yang tentu saja sangat subjektif, dan belum berhasil saya cari referensi penguat atas simpulan tersebut.   

Nah, saya, Anda ini kan manusia normal, tentu akan jauh lebih mudah menguasai kata-kata ketimbang Teny dan Vivi kan?!. Maka sebagai bentuk rasa syukur atas karunia kenikmatan dan kelengkapan piranti hidup yang telah diberikan Tuhan tersebut, sudah selayaknya Anda menulis. Dan jangan lagi beralasan tulisan saya jelek!

***

Dan yang mengharukan di saat saya pamit pulang, Agung maju ke depan menyerahkan gambar karikatur saya yang tengah duduk bersila dengan kedua tangan saya tengah memegang buku. Saya salami dia, sambil mengucapkan kata terima kasih. Ia pun tersenyum, sama-sama. Lalu, Teny, Ferdi, Vivi, dan siswa-siswa lain bergiliran menyalami saya, lengkap dengan senyum lepas mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar