Wahai huruf.....
Alangkah akan tingginya ucapan
Terima kasihku,
bilalah kamu
Menjadi buku
terbuka
Bagi manusia yang
membacanya.
(Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding 1, 2004)
“Yang saya kuatirkan bukanlah
cita-cita tinggi dan orang gagal menggapainya. Tapi cita-cita itu terlalu
rendah, dan ia berhasil mencapainya.”
Demikian nasihat Victor Hugo berabad kurun lalu—dengan sedikit revisi.
Bagaimana makna lugas nasihat tersebut?
Cita-cita perannya sangat penting
dalam kehidupan. Baik dalam wilayah pribadi maupun komunitas (bangsa). Ia bisa
menumbuhkan semangat untuk maju dan berkembang.
Persoalannya ada sebagian orang yang berani bercita-cita tinggi. Namun
sebagian besar lainnya, teramat sederhana. Bahkan ada yang tidak berani bercita-cita.
Cita-cita adalah semata-mata mimpi
yang bertanggal. Demikian nubuat bijak bestari. Ia menjadi satu-satunya yang
dimiliki oleh yang tidak berpunya.
Persis seperti yang diucapkan Arai kepada Ikal dalam Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. “Orang
seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan
bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu. Kita tidak akan mendahului nasib
kita. Pesimistis tak lebih dari sikap takabur.”
Berdasarkan pengalaman empiris,
keberanian bercita-cita berada dalam satu kayuhan dengan seberapa jauh
seseorang telah melakukan penjelajahan geografis. Dalam deskripsi yang berbeda,
seberapa jauh jangkauan spasial (ruang) seseorang, memiliki pengaruh yang besar
terhadap seberapa tinggi dan berani ia bercita-cita. Maka, salah satu cara yang
paling sederhana untuk mendorong seseorang berani bercita-cita adalah dengan
membuat mobilitas horizontal-spasialnya tinggi dan luas.
Ini saya
sebut dengan istilah "Mengalami Indonesia." Yaitu strategi melahirkan
cita-cita yang tinggi nan mulia sekaligus menebalkan rasa
nasionalisme/ke-Indonesia-an (kebangsaan) anak-anak muda, dengan mendorong
mereka untuk melancong ke segala penjuru Nusantara. Tidak saja menikmati keindahan
panorama, lebih dari itu mengakrabi kehidupan sosial. Secara fisik dan emosi.
Logika sederhananya seperti ini: tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak
cinta. Bagaimana mungkin pada diri seseorang akan tumbuh rasa memiliki,
mencintai, dan menjadi bagian dari bangsa ini (Indonesia) jika mengenal saja
tidak.
Sehingga
penjelajahan fisiknya merupakan aksi ideologis, bukan semata-mata untuk
kesenangan bersifat material. Bakda melancong ia akan mendapat banyak
pengalaman batin dan sosial. Sehingga membuatnya memiliki beragam perspektif
dalam melihat dunia (persoalan/fenomena).
Tidak sedikit tokoh yang peran diri, cita-cita, dan pemikirannya
meraksasa dan memengaruhi dunia didapat setelah menempuh metode “mengalami”
ini.
Para founding fathers macam Mohamad Hatta,
Soekarno, Agus Salim, dan Tan Malaka adalah sedikit contoh, bagaimana “luasan
mengalami” spasial ke-Indonesia-an dan dunia dapat mendorong untuk berani
bercita-cita tinggi dan mulia.
Contoh lain,
idola para aktivis pergerakan mahasiswa: “Che” Guevara. Ia memperoleh kesadaran untuk bahu membahu
dengan Castro membebaskan Kuba dari derita penguasa tiran adalah setelah berjalan-jalan keliling Amerika Latin dan menyaksikan
penderitaan kamu miskin Amerika Latin. Hingga pada satu titik keluar kata-kata
penuh maknanya: Let the world change you,
and you will change the world.
Biarkan dunia mengubah mu, maka engkau akan mengubah dunia.
“Biarkan
perjumpaanmu dengan pengalaman-pengalaman baru menjadikanmu lebih dewasa dan
kemudian tampil ke depan sebagai orang-orang yang mampu memberikan jawaban.”
Tulis Shofwan Al Banna (2007).
Jika kesempatan melakukan perjalanan
belum datang, baik alasan teknis, waktu maupun uang, bisa menambung pengetahuan
dulu melalui aktvitas membaca. Sehingga ketika kesempatan melancong datang,
bisa dijadikan sarana konfirmasi, dan afirmasi atas apa-apa yang telah dibaca.
Membaca menjadi jendela mengenal Indonesia dan dunia untuk kemudian
mengalaminya.
Membaca dapat
dijadikan sarana untuk mengafirmasi sekaligus menegasi kenyataan kehidupan.
Menjadi sarana untuk memasuki kehidupan sesungguhnya yang barangkali antara das sien dan das sollen sangat berbeda. Jika apa yang dikatakan buku adalah
tesis, maka sangat boleh jadi yang berlangsung di luar buku adalah antitesis.
Interaksi yang intens atas keduanya akan menghasilkan sintesa (tesis baru). Terbentuknya kesadaran baru
pada tingkat yang lebih tinggi.
Membaca
memungkinkan terbentuknya persimpangan antara dunia kehidupan pembaca dan dunia
teks. Sehingga berlangsung tindakan eksistensial pembaca yang membuat makna
sendiri atas teks. “Pembaca seperti menerapkan makna tekstual ke dalam
kehidupan konkretnya,” ujar Karlina Leksono Supeli (Buku dalam Indonesia Baru, Edit. Alfons Taryadi, 1999). Berpartisipasi di alam kesamaan makna yang
ada di dalam teks.
***
Kaitannya dengan deskripsi di atas, saya ada
sekelumit cerita saat ber-backpacker ke
Negeri Jiran, Singapura. Di negeri “1001 denda” ini, kami bermalam di hostel khusus para backpacker menginap. Persisnya di kawasan Little India. Sesuai
dengan namanya, kawasan ini memang mayoritas dihuni oleh etnis India. Kamar
yang kami tempati berukuran sekitar 3 x 4 meter. Ada empat dipan bertingkat
dua. Jadi satu kamar ditempati 8 orang.
Di kamar ini, kami berkenalan dan
terlibat obrolan yang hangat dan akrab dengan para backpacker dari India, Kanada, Swis, Jerman, China, dan
Jepang. Usia mereka rerata masih muda.
Perkiraan saya kurang dari 30 tahun.
Yang saya lihat dari mereka adalah sosok-sosok yang penuh vitalitas,
semangat, optimistik, sekaligus memiliki pengetahuan yang memadai tentang
situasi dunia. Satu lagi mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Bisa
jadi itu didapatkan karena mobilitas antar negara dan benua yang mereka lakukan
sudah sangat tinggi. Mereka telah berada pada satu kondisi: menjadi warga dunia
dalam pengertian yang sebenarnya.
Dalam konteks mengalami Indonesia,
ikhtiar untuk menjadi warga bangsa Indonesia dalam arti sesungguhnya bisa dilakukan dengan menjadi backpacker domestic. Sudah saatnya para remaja kita, anak-anak
sekolah, terutama yang sudah duduk di bangku SMA dan mahasiswa didorong dan
difasilitasi untuk mengalami Indonesia. Untuk menjadi backpacker domestic. Sehingga mereka akan memperoleh kesadaran
kebangsaan jauh-jauh hari. Sehingga sejak muda, cara berfikir dan cita-cita
mereka sudah menasional. Berkesadaran
“satu dalam perbedaan” dan “beda dalam persatuan”.
Dan salah satu bentuk persiapan sebelum berperjalanan mengalami Indonesia
dan dunia, adalah dengan mengumpulkan dan membaca beragam informasi tentang
tempat yang akan dituju. Sehingga saat berperjalanan, tidak sekadar melakukan
perjalanan fisik (berpindah badan/wadak dari satu tempat ke tempat lain), serta beraktivitas fisik pula (melihat
pemandangan alam serta berbelanja), tapi juga mengakrabi kehidupan masyarakat
(sosial) tempat tujuan tersebut. Dengan begitu akan muncul rasa cinta dan
pelingkupan (inklusivitas) dan penerimaan diri: saya dan Anda bersaudara.
Sama-sama sebagai anggota warga Indonesia dan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar