Kamis, 12 Desember 2013

Misteri Bang Li



:: agus m irkham

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Namanya Ghozali. Tapi semua menyapa dengan sebutan Bang Li. Kepanjangan dari Abang Ghozali barangkali. Umurnya, tebakan saya sekitar 56-60 tahun.  Putranya 6 (enam). Letak rumahnya 100 meter di belakang kediaman saya. Pekerjaan Bang Li ini menanam pohon, nyangkok, menempel, menyetek beragam tanaman agar mendapatkan bibit atau hasil tanaman baru yang semakin berkualitas. Profesi ini beliau geluti sejak muda. Sejak belum menikah. Tenaganya sering dimanfaatkan orang untuk merawat kebun.

Profesi lainnya dari Bang Li adalah beternak kambing. Dengan mengatur usia kambing yang ia pelihara itulah ia membiayai anak-anaknya sekolah. Maksudnya setiap memerlukan biaya besar untuk ongkos sekolah ia menjual satu atau lebih ekor kambing. Tergantung besarnya biaya yang harus disediakan. Paling besar, setelah lulus SMA kini sudah bekerja di Semarang.

Entah bagaimana ceritanya, 2 tahun terakhir ini Bang Li sangat dekat dengan saya. Awalnya  pada suatu malam usai menghadiri undangan Tahlilan di tempat tetangga, tanpa saya minta Bang Li ini mampir ke tempat saya. Dan mengobrol banyak hal. Termasuk menasihati saya agar hidup lebih tertata, bermanfaat, dan lain sebagainya. Nasihat itu ia keluarkan tanpa saya minta. Hanya saja, Bang Li setiap berbicara dengan saya, tidak pernah menatap mata saya secara langsung. Pasti sambil menunduk atau agak melengos sedikit.

Sejak kedatangan Bang Li malam itu, ia kelihatannya merasa nyaman berinteraksi dengan saya. Buktinya, selang beberapa hari ia ingin mampir ke rumah saya lagi, cuman karena waktu itu saya sedang capai dan nguantuk banget, setelah saya temui sebentar saya bilang dalam bahasa jawa: Maaf ya bang, kebetulan saya capai banget, pengin tidur, ngobrolnya dilanjutkan besok lagi ya, insyaAllah nanti saya yang gantian ke rumah abang.”

Saya pun akhirnya walaupun tidak selalu, tapi lumayan sering silaturahim ke rumahnya. Kadang sendiri, tapi lebih banyak dengan anak-anak. Karena sekalian momong, ngajak mereka melihat kambing-kambing Bang Li. Nah, setiap silatuhim atau bertemu ini, pasti ia menasihati saya dengan tengah hikmah dan kebajikan hidup. Ia juga pernah bercerita kalau dulu pernah ditipu orang (aparat desa) yakni menggadaikan sertifikat ke Bank tanpa sepengetahuannya, dan ia harus menutup utang di Bank tersebut. Cerita yang membawa penegasan dari dia kepada saya jangan pernah menipu atau berbohong, karena akibatnya akan kembali ke diri saya sendiri. Nasihat sederhana dan klise memang, dan bisa saya dapatkan dari buku, orang lain, dan banyak sumber lainnya. Tapi karena diucapkan oleh sosok Bang Li yang rada aneh ini, nasihat itu jadi pula bobot makna tersendiri  buat saya.

Satu kebiasaan yang sering ia lakukan adalah selalu memberi hasil tanamannya kepada saya dan keluarga saya (anak-anak + istri), mulai dari jambu klutuk merah, daun ketela pohon, sayur kangkung, gambas, mentimun, gambar, pisang, dan lain-lain. Pendek kata sudah tak terhitung beliau memberi kami. Dan cara memberinya pun aneh, yaitu digeletakkan begitu saja di pintu depan rumah, kadang di pintu samping—terutama ketika menurutnya kami tidak ada di rumah, padahal ada cuman masih di belakang, atau saya masih mengetik, sehingga tidak mendengar ucapan salamnya. Kadang, lamat-lamat istri saya mendengar salam Bang Li, tapi begitu dicari, orangnya sudah tidak ada, dan tersisa adalah beragam sayur yang tergelak di lantai rumah kami.

Tentang ini, saya pernah bilang ke istri saya dengan nada bercanda: “ma, sebenarnya yang miskin itu kayaknya kita ya. Bang Li dengan segala macam keterbatasan selalu bersedekah ke kita. Sementara kita jarang bahkan hampir-hampir tidak pernah memberi sesuatu pada Bang Li.”

Ada juga pada suatu pagi, Bang Li ini datang menawarkan satu ekor cempe agar saya beli, uangnya akan dipakai untuk biaya wisata anaknya di sekolah. Akhirnya saya pun beli, meskipun tetap dipelihara Bang Li, tinggal nanti jika dijual ada setelah dikurangi biaya beli, margin lebihnya dibagi dua. Dan dengan cara ini pula, Bang Li bertahan hidup.  Tanpa saya sadari, saya memiliki banyak guru kehidupan di lingkungan saya. Bang Li ini guru ketulusan buat saya.










1 komentar:

  1. Wah, manis sekali cerita Bang Li ini mas Agus. Tersirat banyak hikmah darinya.

    BalasHapus